Latest News

asuhan keperawatan jiwa isolasi sosial

A.    Konsep Dasar Isolasi Sosial
Skizofrenia adalah masalah psikotik yang menyebabkan timbulnya kerusakan pada pikiran (Shives, 2005, hlm. 242). Isolasi sosial merupakan gejala negatif dari skizofrenia. Berikut ini penjelasan mengenai konsep dari isolasi sosial:

1.    Pengertian
Menurut Townsend (1998, hlm. 152), isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam.
Isolasi sosial merupakan keadaan ketika individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak (Carpenito, 2002, hlm. 467).
Isolasi sosial adalah kedaan seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Klien merasa ditolak, tidak diterima, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Yosep, 2009, hlm. 229).
Berdasarkan pengertian isolasi sosial di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa isolasi sosial merupakan ketidakmampuan seseorang untuk membina hubungan dengan orang lain.

2.    Proses Terjadinya Masalah
Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 401), proses terjadinya masalah isolasi sosial terdiri dari faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, mekanisme koping, dan rentang respons terjadinya masalah.
a.    Faktor predisposisi
Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan isolasi sosial, yaitu:
1)    Faktor biologi
Banyak peneliti percaya bahwa gangguan jiwa seperti gangguan kepribadian atau gangguan kepribadian antisosial sangat rentan diwariskan atau diturunkan secara genetik. Sebuah studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan genetik untuk gangguan kepribadian antisosial. Hipotesa biologi menunjukkan perilaku yang impulsif dan agresif disebabkan oleh disfungsi otak, ambang rendah rangsangan sistem limbik, rendahnya tingkat serotonin, atau zat kimia beracun (Stuart & Laraia, 2005, hlm. 450).

2)    Faktor perkembangan
Sistem keluarga yang terganggu dapat berperan dalam perkembangan respon sosial maladaptif. Beberapa orang percaya bahwa individu yang mengalami masalah ini adalah orang yang tidak berhasil memisahkan dirinya dari orang tua. Norma keluarga mungkin tidak mendukung hubungan di luar pihak keluarga. Peran keluarga sering kali tidak jelas. Orang tua pecandu alkohol dan penganiaya anak juga mempengaruhi respon sosial pada individu (Stuart, 2002, hlm.279).

3)    Faktor keluarga
Pada komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam gangguan berhubungan, bila keluarga hanya menginformasikan hal-hal yang negatif akan mendorong anak mengembangkan harga diri rendah. Adanya dua pesan yang bertentangan disampaikan pada saat yang bersamaan, mengakibatkan anak menjadi enggan berkomunikasi dengan orang lain (Stuart, 2002, hlm. 279).
4)    Faktor sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor utama dalam gangguan berhubungan. Hal ini diakibatkan oleh norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, tidak menghargai, tidak mempunyai angota masyarakat yang kurang produktif seperti lanjut usia, orang cacat dan penderita penyakit kronis. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku, dan sistem nilai yang berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas. Harapan yang tidak realitas terhadap hubungan merupakan faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini (Stuart, 2002, hlm. 279).

b.    Faktor presipitasi
Faktor presipitasi umumnya mencakup peristiwa kehidupan yang menimbulkan stress seperti kehilangan, yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas. Faktor presipitasi dapat dikelompokan dalam dua kategori, yaitu:
1)    Stress sosiokultural
Stress sosiokutural akan menimbulkan ketidakstabilan dalam keluarga. Bila terjadi perceraian yang mengakibatkan terpecahnya keluarga akan mempengaruhi sistem support dalam keluarga. Kurangnya komunikasi antar keluarga akan mengakibatkan masalah. Banyaknya tekanan dan tidak adanya dukungan menyebabkan seseorang mengisolasi dirinya untuk berhubungan dengan orang lain (Stuart & Laraia, 2005, hlm. 451).

2)    Stressor psikologis
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat, kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan, ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tingkat tinggi (Stuart, 2002, hlm. 280).

c.    Penilaian terhadap stressor
Individu dewasa yang dapat berperan serta dalam hubungan interpersonal yang sehat tetap rentan terhadap efek stress psikologis. Penilaian stressor individu sangat penting dalam hal ini. Rasa sedih karena suatu kehilangan atau beberapa kehilangan dapat sangat besar sehingga individu tidak mau mengalami kehilangan di masa depan, bukan mengambil resiko mengalami lebih banyak kesedihan. Respon ini lebih mungkin terjadi jika individu mengalami kesulitan dalam tugas perkembangan yang berkaitan dengan hubungan (Stuart, 2002, hlm. 280).

d.    Sumber koping
Menurut Stuart (2002, hlm. 280), sumber koping yang berhubungan dengan respons sosial maladaptif meliputi keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luasan teman, hubungan dengan hewan peliharaan dan penggunaan kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal misalnya kesenian, musik atau tulisan.

e.    Mekanisme koping
Individu yang mengalami respons sosial maladaptif menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah hubungan yang spesifik (Stuart, 2002, hlm. 281).
Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian antisosial antara lain proyeksi, splitting dan merendahkan orang lain, koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian ambang splitting, formasi reaksi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang lain, merendahkan orang lain dan identifikasi proyeksi.

f.    Rentang respons
Respons yang muncul pada rentang respons sosial, yaitu:
1)    Respons adaptif adalah respons yang diterima oleh norma sosial dan kultural dimana individu tersebut menjelaskan masalah dalam batas normal.
a)    Solitude: Respons yang dibutuhkan untuk menentukan apa yang telah dilakukan dilingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara mengawasi diri dan menentukan langkah berikutnya.
b)    Otonomi: Suatu kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide pikiran.
c)    Kebersamaan: Suatu keadaan dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk memberi dan menerima.
d)    Saling ketergantungan: Saling ketergantungan antara indivudu dengan orang lain dalam hubungan interpersonal

2)    Respons maladaptif adalah respons yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial dan kebudayaan suatu tempat.
a)    Menarik diri: Ganguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain untuk mencari ketenangan sementara waktu.
b)    Manipulasi: Hubungan sosial yang terdapat pada individu yang menganggap orang lain sebagai objek dan berorientasi pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan berorientasi pada orang lain. Individu tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
c)    Ketergantungan: Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan yang dimiliki.
d)    Impulsif: Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan cenderung memaksakan kehendak.
e)    Narcisisme: Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah jika orang lain tidak mendukung.

B.    Penatalaksanaan Isolasi Sosial
Penatalaksanaan pada klien dengan isolasi sosial dibagi menjadi dua, yaitu penatalaksanaan keperawatan dan  penatalaksanaan medis:

1.    Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada klien dengan isolasi sosial terdiri dari dua metode, yaitu pendekatan proses keperawatan dan terapi modalitas.
a.    Pendekatan proses keperawatan
Proses keperawatan meliputi tiga tahap, yaitu pengkajian, pohon masalah, diagnosa kepearawatan, dan rencana keperawatan.
1)    Pengkajian
Data yang dapat ditemukan pada pengkajian klien dengan isolasi sosial, yaitu (Wilkinson, 2000, hlm. 483):
a)    Data Subjektif
(1)    Mengungkapkan perasaan kesendirian yang dibebankan orang lain.
(2)    Mengungkapkan perasaan pembedaan dari orang lain.
(3)    Mengungkapkan perasaan penolakan
(4)    Mengungkapkan nilai-nilai yang dapat diterima disubkultur, tetapi tidak dapat diterima dikelompok kultur yang dominan.

b)    Data Objektif
(1)    Ketiadaan dukungan dari orang lain yang penting (misalnya, keluarga, teman, dan kelompok).
(2)    Adanya cacat fisik/mental atau perubahan kondisi kesejahteraan.
(3)    Ketidakmampuan untuk memenuhi harapan orang lain.
(4)    Ketidakadekuatan atau ketiadaan tujuan yang penting dalam hidup.
(5)    Ketidaksesuaian atau amaturitas aktivitas/perhatian dalam tahapan perkembangan.
(6)    Merasa tidak aman berada dalam masyarakat.
(7)    Tidak ada kontak mata.
(8)    Sibuk dengan pikirannya sendiri.
(9)    Tindakan yang tidak berarti dilakukan secara berulang.
(10)    Sedih, afek tumpul.
(11)    Lebih senang sendiri atau berada di dalam subkultur.
(12)    Menunjukkan perilaku tidak dapat diterima di kelompok kultural yang dominan.
(13)    Tidak komunikatif.
(14)    Menarik diri

2)    Pohon Masalah

3)    Diagnosa Keperawatan
Menurut Fitria (2009, hlm. 36), masalah keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan isolasi sosial adalah sebagai berikut:
a)    Isolasi sosial
b)    Harga diri rendah kronis
c)    Perubahan persepsi sensori: halusinasi
d)    Koping individu tidak efektif
e)    Koping keluarga tidak efektif
f)    Intoleransi aktivitas
g)    Defisit perawatan diri
h)    Resiko tinggi mencederai diri, orang lain, dan lingkungan

4)    Rencana Asuhan Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan yang dapat disusun pada klien dengan isolasi sosial sebagai berikut:
a)    Isolasi Sosial
Menurut Wilkinson (2000, hlm. 483), perencanaan pada klien isolasi sosial, yaitu:
Kriteria evaluasi:
(1)    Klien menunjukkan keterlibatan sosial.
(2)    Mengidentifikasi dan menerima karakteristik pribadi atau perilaku yang berpengaruh pada isolasi sosial.
(3)    Mengidentifikasi sumber-sumber di komunitas yang akan membantu mengurangi isolasi sosial setelah pemulangan.
(4)    Mengungkapkan perasaan/pengalaman lebih sedikit dilibatkan.
(5)    Memulai berhubungan dengan orang lain.
(6)    Mengembangkan hubungan satu sama lain.
(7)    Menunjukkan afek yang sesuai dengan situasi.
(8)    Mengembangkan ketrampilan sosial yang dapat mengurangi isolasi.
(9)    Melaporkan adanya peningkatan dukungan sosial.
Intervensi:
(1)    Fasilitasi kemampuan berinteraksi dengan orang lain.
(2)    Bantu klien untuk membedakan antara persepsi dan kenyataan
(3)    Identifikasi bersama klien faktor-faktor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial.
(4)    Kurangi stigma isolasi dengan menghormati martabat klien.
(5)    Dukung usaha-usaha yang dilakukan klien, keluarga, dan teman-teman untuk berinteraksi.
(6)    Berikan umpan balik tentang peningkatan dalam perawatan penampilan diri atau aktivitas lainnya.
(7)    Dukung klien untuk mengubah lingkungan, seperti jalan-jalan atau menonton film.

b)    Gangguan sensori persepsi: halusinasi
Menurut Keliat dan Akemat (2007, hlm. 113), perencanaan yang dapat dilakukan untuk diagnosa gangguan sensori persepsi: halusinasi, adalah:
Kriteria evaluasi:
(1)    Pasien dapat mengenali halusinasi yang dialaminya
(2)    Pasien dapat mengontrol halusinasinya
(3)    Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
Intervensi:
(1)    Bantu pasien mengenali halusinasi
(2)    Melatih pasien mengontrol halusinasi
(a)    Menghardik halusinasi
(b)    Bercakap-cakap dengan orang lain
(c)    Melakukan aktivitas yang terjadwal
(d)    Minum obat secara teratur

c)    Gangguan konsep diri: harga diri rendah
Menurut Wilkinson (2000, hlm. 432), perencanaan pada harga diri rendah, yaitu:
Kriteria evaluasi:
(1)    Menunjukkan harga diri.
(2)    Klien mengerti akan kekuatan diri.
(3)    Klien mengungkapkan keinginan untuk mendapatkan konseling.
(4)    Klien berpartisipasi dalam pembuatan keputusan tentang perencanaan perawatan.
(5)    Klien melakukan perilaku yang dapat meningkatkan rasa percaya diri.


Intervensi:
(1)    Bantu klien untuk meningkatkan penilaian penghargaan terhadap diri.
(2)    Berikan informasi tentang pentingnya konseling dan ketersediaan sumber-sumber di komunitas.
(3)    Ajarkan ketrampilan untuk bersikap positif melalui bermain peran.
(4)    Ciptakan batasan terhadap pengungkapan negatif.
(5)    Tekankan kekuatan diri yang dapat diidentifikasi oleh klien.
(6)    Bantu klien mengidentifikasi respon positif terhadap orang lain.
(7)    Bantu penyusunan tujuan yang realitas untuk mencapai harga diri yang lebih tinggi.
(8)    Berikan penghargaan atau pujian pada perkembangan klien dalam pencapaian tujuan.

d)    Defisit perawatan diri: Berhias
Menurut Wilkinson (2000, hlm. 421), yaitu:
Kriteria evaluasi:
(1)    Menunjukkan perawatan diri: aktivitas hidup sehari-hari.
(2)    Klien akan menerima perawatan dari pemberi perawatan.
(3)    Klien mengungkapkan kepuasan dalam berpakaian dan menata rambut.
(4)    Klien menyisir rambut dan berpakaian secara mandiri.
(5)    Klien mengenakan pakaian secara rapi.
(6)    Klien mampu menunjukkan rambut yang rapi dan bersih.
Intervensi:
(1)    Bantu klien memilih, mengenakan, dan melepas pakaian untuk klien yang tidak dapat melakukan sendiri.
(2)    Kaji kemampuan klien untuk menggunakan alat bantu.
(3)    Pantau tingkat kekuatan atau toleransi terhadap aktivitas.
(4)    Pantau peningkatan dan penurunan kemampuan untuk berpakaian dan melakukan perawatan rambut.
(5)    Dukung kemandirian dalam berpakaian/berhias.
(6)    Berikan keamanan untuk mempertahankan lingkungan.
(7)    Kuatkan usaha untuk berpakaian sendiri.

b.    Terapi modalitas
Terapi modalitas yang dapat dilakukan pada klien dengan isolasi sosial, yaitu terapi kelompok. Pada klien dengan isolasi sosial dilakukan terapi modalitas berupa terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Terapi aktivitas kelompok sosialisasi adalah upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial (Keliat, 2004, hlm. 16).

Menurut Keliat (2004, hlm. 16), tujuan umum terapi aktivitas kelompok sosialisasi yaitu klien dapat meningkatkan hubungan dalam kelompok secara bertahap. Sementara, tujuan khusus terapi adalah:
a)    Klien mampu memperkenalkan diri.
b)    Klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok.
c)    Klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok.
d)    Klien mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan.
e)    Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi kepada orang lain.
f)    Klien mampu bekerjasama dalam permainan sosialisasi kelompok.
g)    Klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan terapi yang telah dilakukan.

2.    Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada klien dengan isolasi sosial dibagi menjadi dua, yaitu metode biologik dan metode psikososial.
a.    Metode Biologik
Menutut Hawari (2001, hlm. 97), metode biologik pada gangguan jiwa meliputi:
1)    Psikofarmaka
Penatalaksanaan psikofarmaka pada klien dengan isolasi sosial bertujuan untuk mencegah gejala positif yang dapat muncul pada klien dengan isolasi sosial.
a)    Obat tipikal
Golongan obat generasi pertama yang dapat diberikan pada klien. Jenis obat yang termasuk golongan pertama, yaitu chlorpromazine, trifluperazine, thioridazine, haloperidol.
b)    Obat atipikal
Golongan obat generasi kedua, diantaranya risperidone, clozapine, quetiapine, olanzapine.

2)    Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada klien dengan isolasi sosial, yaitu (Doenges, 1995, hlm. 303):
a)    Pemeriksaan darah
Uji ini mengidentifikasi abnormalitas yang memperberat atau akibat dari depresan.
b)    Elektroensefalografi (EEG)
Mengukur aktivitas elektrik otak, mengidentifikasi disritmia, asimetris atau penekanan irama otak.

3)    Terapi Elektrokonfulsif (ECT)
Rentang yang paling umum untuk mengatasi gangguan afektif adalah 6-12 kali terapi. Sedangkan, pada klien skizofrenia terapi lebih banyak lagi. ECT diberikan dua sampai tiga kali dalam seminggu dengan hari yang bergantian (Stuart, 2002, hlm. 407).

b.    Metode Psikososial
Menurut Hawari (2001, hlm. 105), metode psikososial yang dapat dilakukan, yaitu:
1)    Psikoterapi
Psikoterapi diberikan apabila klien dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan di mana kemampuan menilai realitas (RTA) sudah kembali pulih dan pemahaman diri (insight) sudah baik.
2)    Terapi psikososial
Dengan terapi psikososial diharapkan klien mampu kembali dengan lingkungan sekitarnya dan mampu mandiri dan tidak bergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat (Hawari, 2001, hlm. 109).
3)    Terapi psikoreligius
Terapi keagamaan yang dilakukan seperti kegiatan ritual keagamaan seperti shalat, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan, dan kajian kitab suci dan sebagainya.

0 Response to "asuhan keperawatan jiwa isolasi sosial"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Klik salah satu Link di Bawah ini, untuk menutup BANNER ini...