Latest News

asuhan keperawatan gangguan persepsi sensori : halusinasi

A.    Konsep Dasar Halusinasi
Gangguan persepsi yang utama pada skizofrenia adalah halusinasi, sehingga halusinasi menjadi bagian hidup pasien. Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu menginterpretasikan dan merespon pesan atau rangsangan yang datang. Klien skizofrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya (Yosep, 2009, hlm 212).

1.    Pengertian halusinasi
Menurut Carpenito (2006, hlm 441), perubahan persepsi sensori; halusinasi merupakan keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau berisiko mengalami suatu perubahan dalam jumlah, pola atau interprestasi stimulus yang datang.
Halusinasi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pola stimulus yang mendekat yang disertai dengan berespon secara berlebihan terhadap stimulus (Towsend, 2005, hlm 281).
Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak terjadi dalam realitas (Videbeck, 2001, hlm 362).
Halusinasi adalah persepsi sensori yang keliru dan melibatkan panca indera, dimana dalam skizofrenia halusinasi pendengaran merupakan halusinasi yang paling banyak terjadi (Isaacs, 2001, hlm 151).
Beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa halusinasi merupakan suatu kesalahan dari persepsi yang muncul tanpa adanya stimulus atau rangsangan yang nyata.

2.    Proses terjadinya halusinasi
Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm 401), dalam model stress dan adaptasinya, gangguan jiwa dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor predisposisi, stressor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, mekanisme koping, dan rentang respon.
Berdasarkan pendekatan model stres adaptasi tersebut, berikut ini faktor-faktor yang menyebabkan halusinasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
a.    Predisposisi :
1)    Faktor biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan respons neurobiologis yang maladaptif termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak. Ketidakseimbangan antara dopamin dan neurotransmitter mengakibatkan ketidakmampuan untuk menanggapi rangsangan secara selektif. Klien tidak mampu untuk mengolah informasi, sehingga mengakibatkan kesalahan persepsi dan  halusinasi, bingung, dan mengakibatkan delusi (Stuart dan Laraia, 2005, hlm 396).
2)    Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal (Yosep, 2009, hlm 218).
3)    Faktor sosiokultural
Faktor sosiokultural yang banyak menunjang terjadinya halusinasi adalah stress yang menumpuk, hubungan yang kurang antara orang tua dan anak, kerusakan identitas seksual dan body image, dan kekakuan konsep realita (Shives, 2005, hlm 244).

b.    Presipitasi :
1)    Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi bisa berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membadakan keadaan nyata dan tidak nyata. Memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai mahluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu (Yosep, 2009, hlm 218) :
a)    Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol serta kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b)    Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.

c)    Dimensi intelektual
Dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
d)    Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dan fase awal dan comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.
e)    Dimensi spiritual
Klien halusinasi secara spiritual sering mengalami kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk mensucikan diri. Irama sirkardiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat bangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya.
c.    Penilaian terhadap stressor
Penilaian terhadap stressor yaitu respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak nyaman, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata (Stuart, 2002, hlm 249).

d.    Sumber koping
Sumber koping yaitu suatu evaluasi terhadap pilihan cara yang digunakan dan strategi seseorang untuk menyelesaikan suatu masalah. Individu dapat mengatasi stres dan ansietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil (Stuart, 2002, hlm 249).

e.    Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah upaya atau cara untuk menyelesaikan masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri. Mekanisme koping terbagi menjadi dua yaitu adaptif dan maladaptif (Stuart, 2002, hlm 249).

Mekanisme koping yang adaptif pada halusinasi yaitu :
1)    Pemahaman terhadap pengaruh gangguan otak pada perilaku
2)    Kekuatan dapat meliputi seperti modal inteligensia atau kreativitas yang tinggi
3)    Dukungan keluarga
Mekanisme koping yang maladaptif pada halusinasi yaitu:
1)    Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas
2)    Proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
3)    Menarik diri

f.    Rentang respon
Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm 387), halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi.
Rentang respon neurobiologist dapat dijelaskan sebagai berikut (Dalami, 2009, hlm 22) :
1)    Pikiran logis, merupaka ide yang berjalan secara logis dan sesuai dengan akal pikiran.
2)    Persepsi akurat, proses diterimanya rangsangan melalui panca indera yang didahuluhi oleh perhatian (attention) sehingga individu menjadi sadar tentang sesuatu yang ada di dalam maupun diluar dirinya.
3)    Emosi konsisten, yaitu emosi atau perasaan yang konsisten yang tidak berlebihan dan berjalan sebagaimana mestinya.
4)    Perilaku sesuai, perilaku individu yang berupa tindakan nyata dalam menyelesaikan suatu masalah yang dapat diterima oleh akal sehat dan norma-norma sosial yang berlaku.
5)    Hubungan sosial, merupakan hubungan yang harmonis dan dinamis yang menyangkut hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya.
6)    Proses pikir kadang terganggu (ilusi), manifestasi dari persepsi impuls eksternal melalui alat panca indera yang memproduksi gambaran sensorik pada area tertentu di otak kemudian siinterpretasikan sesuai dengan kejadian yang telah dialami sebelumnya.
7)    Reaksi emosi berlebihan atau kurang, merupakan reaksi dari suatu emosi yang keluar secara berlebihan maupun kurang.
8)    Perilaku tidak sesuai, perilaku individu yang nyata dalam menyelesaikan suatu masalah yang tidak sesuai dan tidak dapat diterima oleh norma-norma dan sosial budaya yang berlaku.
9)    Halusinasi, merupakan kesalahan persepsi sensori yang ditunjukkan oleh perubahan perilaku dari individu tersebut.
10)    Ketidakteraturan, yaitu perilaku yang ditunjukkan oleh individu yang kacau dan tidak dapat dikendalikan sehingga individu tersebut tidak dapat mengikuti aturan-aturan yang sesuai.
11)    Menarik diri (isolasi sosial), yaitu manifestasi dari penyelesaian masalah yang salah, seperti menghindar berinteraksi dengan orang lain, menghindar berinteraksi dengan lingkungannya.

B.    Penatalaksanaan Halusinasi
Penatalaksanaan pasien dengan halusinasi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu, penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksaan medis :
1.    Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan halusinasi secara garis besar terdiri dari dua metode, yaitu menggunakan pendekatan proses keperawatan dan terapi modalitas.
a.    Proses keperawatan
Proses keperawatan tediri dari pengkajian, diagnosa, dan intervensi keperawatan.
1)    Pengkajian
Menurut Keliat dan Akemat (2007, hlm 109), pada proses pengkajian data penting yang perlu didapatkan pada pasien yang mengalami halusinasi adalah sebagai berikut :
a)    Jenis dan isi halusinasi
Berikut ini adalah jenis halusinasi menurut data objektif dan subjektifnya. Data objektif dapat dikaji dengan cara mengobservasi perilaku pasien, sedangkan data subjektif dapat dikaji dengan melakukan wawancara dengan pasien.
(1)    Halusinasi pendengaran
Data objektif yang biasa ditemukan adalah bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, mencondongkan telinga ke arah tertentu, dan menutup telinga. Sedangkan data subjektif yang ditemukan adalah mendengar suara-suara atau kegaduhan, mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengar suara memerintah melakukan sesuatu yang berbahaya.
(2)    Halusinasi pengelihatan
Data objektif yang ditemukan adalah menunjuk-nunjuk ke arah tertentu, ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas. Sedangkan data subjektifnya adalah melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau monster.
(3)    Halusinasi penciuman
Data objektif yang biasa ditemukan yaitu tampak seperti sedang mencium bau-bauan tertentu, menutup hidung. Serta data subjektifnya adalah mencium bau-bauan, seperti bau darah, urine, feses, terkadang bau yang menyenangkan.
(4)    Halusinasi pengecapan
Data objektif yang biasa ditemukan adalah sering meludah, muntah. Data subjektifnya adalah merasakan rasa seperti darah, urine, atau feses.
(5)    Halusinasi perabaan
Data objektif yang biasa ditemukan adalah menggaruk-garuk permukaan kulit. Sedangkan data subjektifnya adalah mengatakan ada serangga dipermukaan kulit, merasa seperti tersengat listrik.

b)    Waktu, frekuensi, dan situasi yang menyebabkan halusinasi
Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh pasien. Pasien dengan halusinasi sering mendengar atau melihat sesuatu yang terjadi hanya sesekali maupun terus-menerus. Halusinasi sering muncul saat pasien sedang menyendiri atau setelah mengalami kejadian tertentu, sehingga perawat harus mengkaji dapat mengkaji data-data tersebut.

Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khsus pada waktu terjadinya halusinasi, sehingga pasien tidak larut dalam halusinasinya. Dengan mengetahui fekuensi terjadinya halusinasi, tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi dapat direncanakan.

c)    Respon halusinasi
Untuk mengetahui apa yang dilakukan pasien ketika halusinasi itu muncul, perawat dapat menanyakan kepada pasien tentang perasaan atau tindakan pasien saat halusinasi terjadi. Tindakan atau perasaan pasien saat terjadi halusinasi yaitu menyendiri, senang, sedih, takut, bahkan marah dan samapai melakukan tindakan yang berbahaya.

d)    Tahapan halusinasi
Beberapa tahapan-tahapan pada klien dengan halusinasi antara lain (Yosep, 2009, 222) yaitu :
(1)    Stage I : Sleep Disorder
Klien merasa banyak masalah, ingin menghindari dari lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan support system kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangsung terus-menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah.
(2)    Stage II : Comforting Moderate level of anxiety
Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaa berdosa, ketakutan dan mencoba memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia kontrol bila kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan halusinasinya.
(3)    Stage III : Condemning Severe level of anxiety
Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami bias. Klien mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan mulai berupayah menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang lain dengan intensitas waktu yang lama.
(4)    Stage IV : Controlling Severe level of anxiety
Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang datang. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan Psychotic.
(5)    Stage V : Conquering Panic level of anxiety
Pengalaman sensorinya terganggu, klien mulai merasa terancam dengan datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman atau perintah yang di dengar dari halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung selama minimal 4 jam atau seharian bila klien tidak mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat.

2)    Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian atau kesimpulan yang diambil dari pengkajian.
a)    Pohon masalah
b)    Masalah keperawatan
Menurut Yosep (2009, hlm 223), diagnosa keperawatan pada pasien dengan halusinasi yaitu :
(1)    Diagnosa utama : Gangguan persepsi sensori: halusiansi (pendengaran, pengelihatan, penciuman, taktil, pengecapan, kenestetik, kinestetik).
(2)    Diagnosa yang mungkin muncul, yaitu :
(a)    Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
(b)    Isolasi sosial.
(c)    Gangguan konsep diri: harga diri rendah.
3)    Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan yang diuraikan pada pasien dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi, sebagai berikut:
a)    Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran
Menurut Fitria (2009, hlm 61), beberapa intervensi keperawatan untuk pasien dengan halusinasi adalah sebagai berikut :
(1)    Tujuan dan kriteria hasil :
(a)    Klien mengenali halusinasi yang dialaminya
(b)    Klien dapat mengontrol halusinasinya
(c)    Klien mengikuti program pengobatan secara optimal
(2)    Rencana intervensi :
(a)    Membantu klien mengenali halusinasinya
Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu klien mengenali halusinasinya. Perawat dapat berdiskusi dengan klien terkait isi halusinasi, waktu terjadinya halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul, dan perasaan klien saat halusinasi muncul.

(b)    Melatih klien mengontrol halusinasi
Perawat dapat melatih empat cara dalam mengendalikan halusinasi pada klien. Keempat cara tersebut sudah terbukti mampu mengontrol halusinasi seseorang. Keempat cara tersebut adalah menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan aktivitas yang terjadwal, dan mengkonsumsi obat secara teratur.

b)    Isolasi sosial
Menurut Wilkinson (2002, hlm. 483), perencanaan keperawatan pada klien dengan isolasi sosial, yaitu :
(1)    Tujuan dan kriteria hasil :
(a)    Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial
(b)    Menyebutkan dampak positif berinteraksi dengan orang lain
(c)    Menyebutkan dampak negatif jika tidak berinteraksi
(2)    Rencana intervensi :
(a)    Fasilitasi kemampuan berinteraksi dengan orang lain.
(b)    Bantu klien untuk membedakan antara persepsi dan kenyataan
(c)    Identifikasi bersama klien faktor-faktor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial.
(d)    Kurangi stigma isolasi dengan menghormati martabat klien.
(e)    Dukung usaha-usaha yang dilakukan klien, keluarga, dan teman-teman untuk berinteraksi.
(f)    Berikan umpan balik tentang peningkatan dalam perawatan penampilan diri atau aktivitas lainnya.
(g)    Dukung klien untuk mengubah lingkungan, seperti jalan-jalan atau menonton film.

c)    Gangguan konsep diri: harga diri rendah
Menurut Wilkinson (2002, hlm. 432), perencanaan keperawatan pada klien dengan harga diri rendah, yairtu :
(1)    Tujuan dan kriteria hasil :
(a)    Menunjukkan harga diri
(b)    Klien mengerti akan kekuatan diri.
(c)    Klien mengungkapkan keinginan untuk mendapatkan konseling.
(d)    Klien berpartisipasi dalam pembuatan keputusan tentang perewncanaan perawatan.
(e)    Klien melakukan perilaku yang dapat meningkatkan rasa percaya diri.
(2)    Rencana intervensi :
(a)    Bantu klien untuk meningkatkan penilaian penghargaan terhadap diri.
(b)    Berikan informasi tentang pentingnya konseling dan ketersediaan sumber-sumber di komunitas.
(c)    Ajarkan ketrampilan untuk bersikap positif melalui bermain peran.
(d)    Ciptakan batasan terhadap pengungkapan negatif.
(e)    Tekankan kekuatan diri yang dapat diidentifikasi oleh klien.
(f)    Bantu klien mengidentifikasi respon positif terhadap orang lain.
(g)    Bantu penyusunan tujuan yang realitas untuk mencapai harga diri yang lebih tinggi.
(h)    Berikan penghargaan atau pujian pada perkembangan klien dalam pencapaian tujuan.

b.    Terapi modalitas
Terapi modalitas yang sering dipakai pada pasien gangguan persepsi sensori; halusinasi adalah terapi aktivitas kelompok (TAK). Menurut Keliat dan Akemat (2004, hlm 13), terapi aktivitas kelompok sering dipakai sebagai terapi tambahan. Terapi aktivitas kelompok yang digunakan pada pasien yang mengalami halusinasi yaitu :
1)    Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi.
2)    Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori.
3)    Terapi aktivitas kelompok realita.

2.    Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pasien dengan halusinasi meliputi dua metode yang dapat dilakukan yaitu :
a.    Metode biologik
Menurut Videbeck (2001, hlm 354), metode biologik penatalaksanaan medis pasien dengan halusinasi dibagi menjadi dua yaitu :
1)    Psikofarmaka
Beberapa obat yang lazim digunakan pada kasus halusinasi ialah obat golongan anti psikotik tipikal fenotiazin. Obat-obat yang termasuk golongan anti pskikotik tipikal fenotiazin untuk pasien dengan halusinasi adalah proklorperazin (Compazine), perfenazin (Trilafon), klorpromazine (Thorazine), flufenazin (Prolixine), mesoridazin (Serentil), tiorizadin (Mellaril), trifluoperazine (Stelazine), trifluopromazin (Vesprin).

2)    Pencitraan otak
Menurut Kaplan dan Sadock (1996, hlm 698), teknik pencitraan otak bermanfaat untuk mendiagnosis beberapa gangguan otak dan membantu menghubungkan area otak tertentu dengan fungsi spesifik. Teknik pencitraan otak juga bermanfaat dalam riset untuk menentukan penyebab gangguan jiwa. Beberapa teknik pencitraan otak yaitu, Computed Tomography Scan (CT Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Phositron Emission Tomography (PET) dan Single Phositron Emission Computed Tomography (SPECT), Electro Encephalogram (EEG).

b.    Metode psikososial
Seorang tenaga medis dapat melakukan metode psikososial berikut untuk memberikan intervensi kepada individu yang mengalami halusinasi (Fortinash and Woorret, 2004, hlm 266).
1)    Terapi Kognitif
Strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Hal ini membantu klien mempertimbangkan stresor dan mengidentifikasi pola berfikir serta keyakinan yang tidak akurat.
2)    Terapi Lingkungan
Terapi ini memberikan kesempatan dukungan  sehingga individu berkembang sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Terapi ini bertujuan untuk memampukan klien dapat hidup di luar lembaga yang diciptakan melalui belajar kompetensi yang diperlukan untuk beralih dari rumah sakit ke komunitas.

0 Response to "asuhan keperawatan gangguan persepsi sensori : halusinasi"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Klik salah satu Link di Bawah ini, untuk menutup BANNER ini...