Latest News

asuhan keperawatan perilaku kekerasan

A.    Konsep perilaku kekerasan
Skizofrenia adalah suatu penyakit yang memengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu (Videbeck, 2001, hlm. 348).
Gejala-gejala Skizofrenia dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu gejala  negatif dan gejala positif. Gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia seperti, menarik diri, afek tumpul dan mendatar, pasif dan apatis, tidak ada inisiatif, sulit berpikir abstrak, sedangkan gejala positif dari Skizofrenia yaitu : delusi atau waham, halusinasi, kekacuan alam pikir, gaduh, gelisah, pikirannya penuh dengan kecurigaan, merasa terancam, dan menyimpan rasa permusuhan (Hawari, 2001, hlm. 44).

1.    Pengertian Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan didefinisikan sebagai tindakan fisik kekuatan dimaksudkan untuk menyebabkan kerugian bagi seseorang atau obyek dan untuk menyampaikan pesan bahwa titik pandang pelaku adalah benar dan bukan korban (Harper-Jaques dan Reimer, 1992 dalam Boyd dan Nihart, 1998, hlm. 1032), sedangkan menurut Damaiyanti (2008, hlm. 67) perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1995 dalam Fitria, 2009, hlm. 139). Menurut Yosep (2007, hlm. 146) perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa perilaku kekerasan (PK) adalah suatu respon emosional yang tidak dapat dikendalikan oleh seseorang sehingga dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

2.    Proses terjadinya masalah perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respons terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang. Stressor tersebut dapat muncul dari berbagai macam faktor.

a.    Faktor predisposisi
Menurut Yosep (2007, hlm. 245) terdapat beberapa faktor penyebab perilaku kekerasan meliputi faktor biologis, psikologis, sosialkultural dan spiritual.

1)    Faktor Biologis
Berikut faktor biologis yang dapat memengaruhi perilaku kekerasan:
a)    Neurologic factor
Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap, neurotransmitter, dendrit, akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang akan memengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif.

b)    Genetic factor
Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi perilaku agresif. Menurut riset Kazuo Murakami (2007 dalam Yosep, 2007 hlm. 245) dalam gen manusia terdapat dormant (potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyotype XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif.
c)    Cyrcardian Rhytm
Irama sirkardian tubuh memegang peranan pada individu. Menurut penelitian pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan menjelang berakhirnya pekerjaan sekitar jam 9 dan 13. Pada jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap agresif.
d)    Biochemistry factor
Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak (Epineprin, Norepineprin, Dopamin, Asetilkolin dan Serotonin) sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh, adanya stimulus dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta penurunan serotonin dan Gamma Aminobutyric Acid (GABA) pada cairan cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif.
e)    Brain area disorder
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

2)    Faktor Psikologis
Berikut faktor psikologis yang memengaruhi perilaku kekerasan :
a)    Teori psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang seseorang (life span history). Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai kompensasi adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
b)    Imitation, modeling, and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang mentolerir kekerasan. Adanya model dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menonton tayangan pemukulan pada boneka dengan reward positif pula (makin keras pukulannya akan diberi coklat), anak lain menonton tayangan cara mengasihi dan mencium boneka tersebut dengan reward positif pula (makin baik belaiannya mendapat hadiah coklat). Setelah anak-anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak berperilaku sesuai dengan tontonan yang pernah dialaminya.
c)    Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respons ayah saat menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respons ibu saat marah. Ia juga belajar bahwa agresivitas lingkungan sekitar menjadi peduli, bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa dirinya eksis dan patut untuk diperhitungkan.

3)    Faktor Sosial budaya
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan. Hal ini dipicu juga dengan maraknya demonstrasi, film-film kekerasan, mistik, tahayul dan perdukunan dalam tayangan televisi.

4)    Faktor spiritual
Berdasarkan tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresivitas merupakan dorongan dan bisikan syaitan yang sangat menyukai kerusakan agar manusia menyesal (devill support). Semua bentuk kekerasan adalah bisikan syaitan melalui pembuluh darah ke jantung, otak dan organ vital manusia lainnya yang dituruti manusia sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan dirinya terancam dan harus segera dipenuhi tetapi tanpa akal (ego) dan norma agama (super ego).

b.    Faktor presipitasi
Menurut Yosep (2007, hlm. 148), seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injuri secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal. Contoh stresor eksternal : serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari orang lain, sedangkan contoh dari stresor internal : merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita .
Bila dilihat dari sudut perawat dan klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua, yakni (Yosep, 2007, hlm 148):
1)    Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri.
2)    Lingkungan: ribut, kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik interaksi sosial.

c.    Penilaian terhadap stressor
Penilaian stressor melibatkan dalam menentukan makna dan pemahaman mengenai dampak dari situasi stres bagi individu. Hal ini mencakup kognitif, afektif, fisiologis, respon perilaku, dan sosial. Penilaian merupakan evaluasi tentang pentingnya peristiwa dalam hubungannya dengan kesejahteraan seseorang. Stressor mengasumsikan makna, intensitas, dan pentingnya sebagai akibat dari interpretasi  unik dan makna yang diberikan kepada  orang yang berisiko (Stuart dan Laraia, 2005, hlm. 67).

d.    Sumber koping
Sumber koping menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 68) merupakan pilihan atau strategi yang membantu menentukan apa yang bisa dilakukan, serta apa yang dipertaruhkan. Mereka mempertimbangkan pilihan koping yang tersedia, kemungkinan bahwa opsi yang diberikan akan mencapai apa yang seharusnya, dan kemungkinan bahwa orang tersebut dapat menerapkan strategi tertentu yang efektif. Sumber koping termasuk dalam aset ekonomi, kemampuan dan keterampilan, teknik defensif, dukungan sosial, dan motivasi. Hubungan antara individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat adalah sangat penting pada hal ini.
Sumber koping lainnya termasuk kesehatan dan energi, dukungan spiritual, keyakinan positif, pemecahan masalah dan keterampilan sosial, sumber daya sosial dan material, serta fisik dan kesejahteraan. Keyakinan spiritual dan melihat diri sendiri secara positif dapat berfungsi sebagai dasar harapan dan dapat mempertahankan upaya koping seseorang untuk tidak jatuh dalam keadaan yang paling buruk.
Keterampilan pemecahan masalah termasuk kemampuan untuk mencari informasi, mengidentifikasi masalah, dan menimbang alternatif. Keterampilan sosial dapat memfasilitasi pemecahan masalah yang melibatkan orang lain, meningkatkan kemungkinan mendapatkan kerjasama dan dukungan dari orang lain, dan memberikan kontrol sosial individual yang lebih besar. Pengetahuan dan kecerdasan adalah sumber koping lainnya yang memungkinkan orang untuk melihat cara berbeda untuk menghadapi stres.

e.    Mekanisme koping
Menurut Yosep (2007, hlm. 249) mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti :
1)    Displacement, yaitu dapat mengungkapkan kemarahan pada objek yang salah, misalnya pada saat marah pada dosen, mahasiswa mengungkapkan kemarahan dengan memukul tembok
2)    Proyeksi, yaitu kemarahan dimana secara verbal mengalihkan kesalahan diri sendiri pada orang lain yang dianggap berkaitan, misalnya pada saat mendapatkan hasil ujian dengan nilai yang buruk seorang mahasiswa menyalahkan dosennya atau menyalahkan sarana kampus atau menyalahkan administrasi yang tidak becus mengurus nilai
3)    Represi, yaitu dimana individu merasa seolah-olah tidak marah dan tidak kesal, ia tidak mencoba menyampaikannya kepada orang terdekat atau ekpress feeling, sehingga rasa marahnya tidak terungkap dan ditekan sampai ia melupakannya.

f.    Rentang respon
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dari ungkapan kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari individu (Yosep, 2007, hlm. 248).

Skema Rentang Respon Marah
Adaptif                                             Maladaptif
Asertif    Frustasi    Pasif    Agresif    Amuk/PK
               
Sumber: Yosep (2007, hlm. 146)

Keterangan:
1)    Asertif adalah keadaan dimana klien mampu mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan kelegaan.
2)    Frustasi adalah keadaan dimana klien gagal mencapai tujuan kepuasaan/saat marah dan tidak dapat menemukan alternatif.
3)    Pasif adalah suatu keadaan dimana klien merasa tidak mengungkapkan perasaannya, tidak berdaya dan menyerah.
4)    Agresif adalah suatu keadaan dimana klien mengekspresikan secara fisik, tapi masih terkontrol, mendorong orang lain dengan ancaman.
5)    Amuk atau kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang kontrol disertai amuk dan merusak lingkungan.

B.    Penatalaksanaan perilaku kekerasan
Penatalaksanaan pada klien dengan perilaku kekerasan meliputi penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan medis.

1.    Penatalaksanaan keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan melalui proses pendekatan keperawatan dan terapi modalitas.
a.    Pendekatan proses keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan yang dilakukan berdasarkan proses keperawatan, yaitu meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, rencana tindakan keperawatan serta evaluasi.

1)    Pengkajian keperawatan
Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu perilaku kekerasan saat sedang berlangsung atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan). Tanda dan gejala yang ditemui pada pasien melalui observasi atau wawancara tentang perilaku adalah sebagai berikut (Keliat, 2007, hlm. 126) :
a)    Muka merah dan tegang
b)    Pandangan tajam
c)    Mengatupkan rahang dengan kuat
d)    Mengepalkan tangan
e)    Jalan mondar-mandir
f)    Bicara kasar, suara tinggi, menjerit atau berteriak
g)    Mengancam secara verbal atau fisik
h)    Melempar atau memukul benda/orang lain
i)    Merusak barang atau benda
j)    Tidak memiliki kemampuan mencegah/mengendalikan perilaku kekerasan.

2)    Pohon Masalah

3)    Diagnosa keperawatan
Penilaian mengenai data bahaya perilaku pasien terhadap diri atau lainnya dilakukan analisis terlebih dahulu. Diagnosis keperawatan yang paling umum untuk pasien yang mengalami kemarahan yang intens dan agresi adalah risiko kekerasan. Hasil difokuskan untuk  mengurangi perilaku agresif (Boyd dan Nihart,1998, hlm. 1.039).
Diagnosis keperawatan yang ditetapkan sesuai dengan data yang didapat. Diagnosis keperawatan risiko perilaku kekerasan dirumuskan jika klien saat ini tidak melakukan perilaku kekerasan, tetapi pernah melakukan perilaku kekerasan dan belum mempunyai kemampuan mencegah atau mengendalikan perilaku kekerasan tersebut (Keliat, 2007, hlm. 131).

4)    Rencana asuhan keperawatan
Menurut Keliat (2007, hlm. 132), tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien dengan kecenderungan perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
a)    Tujuan keperawatan untuk klien
(1)    Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
(2)    Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
(3)    Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya
(4)    Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya
(5)    Klien dapat menyebutkan cara mencegah/mengendalikan perilaku kekerasannya
(6)    Klien dapat mencegah/mengendalikan perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, sosial dan dengan terapi psikofarmaka.
b)    Tindakan keperawatan untuk klien
(1)    Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya, klien harus merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat. Tindakan yang harus perawat lakukan dalam membina hubungan saling percaya adalah:
(a)    Mengucapkan salam terapeutik
(b)    Berjabat tangan
(c)    Menjelaskan tujuan interaksi
(d)    Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu klien.
(2)    Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan sekarang dan yang lalu.
(3)    Diskusikan perasaan, tanda dan gejala yang dirasakan klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan
(a)    Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik
(b)    Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis
(c)    Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial
(d)    Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual
(e)    Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual
(4)    Diskusikan bersama klien tentang perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat marah:
(a)    Verbal
(b)    Terhadap orang lain
(c)    Terhadap diri sendiri
(d)    Terhadap lingkungan
(5)    Diskusikan bersama klien akibat perilaku kekerasan yang ia lakukan
(6)    Diskusikan bersama klien cara mengendalikan perilaku kekerasan, yaitu dengan cara berikut.
(a)    Fisik: pukul kasur/bantal, tarik napas dalam
(b)    Obat
(c)    Sosial/verbal: menyatakan secara asertif rasa marahnya
(d)    Spiritual: beribadah sesuai keyakinan klien
(7)    Bantu klien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara fisik:
(a)    Latihan napas dalam dan pukul kasur/bantal
(b)    Susun jadwal latihan napas dalam dan pukul kasur/bantal
(8)    Bantu klien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara sosial/verbal
(a)    Bantu mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak dan meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik
(b)    Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal
(9)    Bantu klien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara spiritual:
(a)    Bantu klien mengendalikan marah secara spiritual: kegiatan ibadah yang biasa dilakukan
(b)    Buat jadwal latihan ibadah dan berdoa
(10)    Bantu klien mengendalikan perilaku kekerasan dengan patuh minum obat:
(a)    Bantu klien minum obat secara teratur dengan prinsip 6 benar disertai penjelasan mengenai kegunaan obat dan akibat berhenti minum obat
(b)    Susun jadwal minum obat secara teratur
(11)    Ikut sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi untuk mengendalikan perilaku kekerasan.
c)    Tujuan keperawatan untuk keluarga
Keluarga dapat merawat klien di rumah
d)    Tindakan keperawatan pada keluarga
(1)    Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien
(2)    Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang muncul, dan akibat dari perilaku tersebut)
(3)    Diskusikan bersama keluarga tentang kondisi klien yang perlu segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain
(4)    Bantu latihan keluarga dalam merawat klien dengan perilaku kekerasan
(a)    Anjurkan keluarga untuk memotivasi klien melakukan tindakan yang telah diajarkan oleh perawat
(b)    Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien jika pasien dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat
(c)    Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan jika klien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan
(5)    Buat perencanaan pulang bersama keluarga

5)    Implementasi keperawatan
Menurut Mohr (2006, hlm. 678), perawat dan tim kesehatan jiwa lainnya harus mempertimbangkan dengan hati-hati prinsip-prinsip keselamatan dan lingkungan terhadap klien yang agresif dan kekerasan. Tim kesehatan harus mempertahankan perhatian dan kepedulian serta pendekatan saat menentukan batasan yang sesuai. Bahkan klien gangguan psikotik dengan ketegangan yang meningkat, sebelum melakukan kekerasan dapat menanggapi secara positif untuk tidak merusak  hubungan interpersonal. Perencanaan keperawatan untuk klien dengan perilaku marah, agresif, atau kekerasan harus mengatasi kebutuhan mendesak seperti mencegah perilaku dari meningkat dan memastikan keamanan klien dan staf lainnya.

6)    Evaluasi keperawatan
Menurut Towsend (2003, hlm. 248) evaluasi terdiri dari penilaian kembali untuk menentukan jika intervensi keperawatan telah berhasil dalam mencapai tujuan perawatan. Jenis informasi berikut dapat dikumpulkan untuk menentukan keberhasilan bekerja sama dengan klien yang menunjukkan ekspresi kemarahan yang tidak tepat.
a)    Apakah klien mampu mengenali ketika ia marah sekarang?
b)    Dapatkah klien dapat mengendalikan atas perasaan marah yang ia rasakan dan menjaganya, kemudian ia di periksa tanpa kehilangan kontrol?
c)    Apakah klien mencari staf/perawat untuk berbicara tentang perasaan ketika perilaku kekerasan atau marah terjadi?
d)    Apakah klien mampu mentransfer ketegangan yang dihasilkan oleh kemarahan ke dalam kegiatan yang konstruktif?
e)    Apakah klien telah menghindari perilaku yang dapat merugikan orang lain?
f)    Apakah klien mampu memecahkan masalah secara adaptif tanpa frustasi berlebihan dan tanpa menjadi kekerasan?

b.    Terapi Modalitas
Terapi kesehatan jiwa telah dipengaruhi oleh perubahan terkini dalam perawatan kesehatan dan reimbursement, seperti pada semua area kedokteran, keperawatan, dan disiplin ilmu keshatan terkait. Bagian ini secara singkat menjelaskan modalitas terapi yang saat ini digunakan baik pada lingkungan, rawat inap, maupun rawat jalan (Videbeck, 2001, hlm. 69).

1)    Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan lingkungan bagi semua klien ketika mencoba mengurangi atau menghilangkan agresif. Aktivitas atau kelompok yang direncanakan seperti permainan kartu, menonton dan mendiskusikan sebuah film, atau diskusi informal memberikan klien kesempatan untuk membicarakan peristiwa atau isu ketika klien tenang. Aktivitas juga melibatkan klien dalam proses terapeutik dan meminimalkan kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan klien menunjukkan perhatian perawat yang tulus terhadap klien dan kesiapan untuk mendengarkan masalah, pikiran, serta perasaan klien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat meningkatkan rasa aman klien  (Videbeck, 2001, hlm. 259).

2)    Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, klien berpartisipasi dalam sesi bersama kelompok individu. Para anggota kelompok bertujuan sama dan diharapkan memberi kontribusi kepada kelompok untuk membantu yang lain dan juga mendapat bantuan dari yang lain. Peraturan kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi oleh semua anggota kelompok.
Dengan menjadi anggota kelompok klien dapat, mempelajari cara baru memandang masalah atau cara koping atau menyelesaikan masalah dan juga membantunya mempelajari keterampilan interpersonal yang penting  (Videbeck, 2001, hlm. 70).

3)    Terapi keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang mengikutsertakan klien dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi psikopatologi klien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang maladaptif, dan menguatkan perilaku penyelesaian masalah keluarga (Steinglass, 1995 dalam Videbeck, 2001, hlm. 71).

4)    Terapi individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan personal antara ahli terapi dan klien. Tujuan dari terapi individu yaitu, memahami diri dan perilaku mereka sendiri, membuat hubungan personal, memperbaiki hubungan interpersonal, atau berusaha lepas dari sakit hati atau ketidakbahagiaan.
Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina melalui tahap yang sama dengan tahap hubungan perawat-klien : introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain mendorong upaya mempercepat klien ke fase kerja sehingga memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi  (Videbeck, 2001, hlm. 69).

2.    Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis dapat dibagi menjadi dua metode, yaitu metode psikofarmakologi dan metode psikososial.
a.    Metode Biologik
Berikut adalah beberapa metode biologik untuk penatalaksanaan medis klien dengan perilaku kekerasan yaitu:
1)    Psikofarmakologi
Penggunaan  obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari penemuan neurobiologi. Obat-obatan tersebut memengaruhi sistem saraf pusat (SSP) secara langsung dan selanjutnya memengaruhi perilaku, persepsi, pemikiran, dan emosi.  (Videbeck, 2001, hlm. 22).
Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 643), beberapa kategori obat yang digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
a)    Antianxiety dan Sedative Hipnotics
Obat-obatan ini dapat mengendalikan agitasi yang akut. Benzodiazepines seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering digunakan didalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan klien. Tapi obat ini direkomendasikan untuk dalam waktu lama karena dapat menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa memperburuk gejala depresi.
Selanjutnya pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting effect dari Benzodiazepines dapat mengakibatkan peningkatan perilaku agresif. Buspirone obat Antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini ditunjukkan dengan menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengan cedera kepala, demensia dan ’developmental disability’.
b)    Antidepressant
Penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline dan Trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas yang berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organik.
c)    Mood Stabilizers
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian lithium efektif untuk agresif karena manik. Pada beberapa kasus, pemberiannya menurunkan perilaku agresif yang disebabkan oleh gangguan lain seperti retardasi mental, cedera kepala, Skizofrenia, gangguan kepribadian. Pada klien dengan epilepsi lobus temporal, bisa meningkatkan perilaku agresif. Pemberian Carbamazepines dapat mengendalikan perilaku agresif pada klien dengan kelainan EEG (electroencephalogram).
d)    Antipsychotic
Obat-obatan ini biasanya dipergunakan untuk perawatan perilaku agresif. Bila agitasi terjadi karena delusi, halusinasi atau perilaku psikotik lainnya, maka pemberian obat ini dapat membantu, namun diberikan hanya untuk 1-2 minggu sebelum efeknya dirasakan.
e)    Medikasi lainnya
Banyak kasus menunjukkan bahwa pemberian Naltrexone (anatagonis opiat), dapat menurunkan perilaku mencedrai diri. Betablockers seperti Propanolol dapat menurunkan perilaku kekerasan pada anak dan pada klien dengan gangguan mental organik.

2)    Pemeriksaan diagnostik
Meskipun pemeriksaan diagnostik merupakan pemeriksaan penunjang, tetapi peranannya penting dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi neurobiologis, memilih pengobatan, dan  memonitor respon klinis (Maramis, 2009, hlm. 205).
Menurut Doenges (1995, hlm. 253), pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk penyakit fisik yang dapat menyebabkan gejala reversibel seperti kondisi defisiensi/toksik, penyakit neurologis, gangguan metabolik/endokrin. Serangkaian tes diagnostik yang dapat dilakukan pada Skizofrenia Paranoid adalah sebagai berikut :
a)    Computed Tomograph (CT) Scan
Hasil yang ditemukan pada pasien dengan Skizofrenia berupa abnormalitas otak seperti atrofi lobus temporal, pembesaran ventrikel dengan rasio ventrikel-otak meningkat yang dapat dihubungkan dengan derajat gejala yang dapat dilihat.
b)    Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberi gambaran otak tiga dimensi, dapat memperlihatkan gambaran yang lebih kecil dari lobus frontal rata-rata, atrofi lobus temporal (terutama hipokampus, girus parahipokampus, dan girus temporal superior).
c)    Positron Emission Tomography (PET)
Alat ini dapat mengukur aktivitas metabolik dari area spesifik otak dan dapat menyatakan aktivitas metabolik yang rendah dari lobus frontal, terutama pada area prefrontal dari korteks serebral.
d)    Regional Cerebral Blood Flow (RCBF)
Alat yang dapat memetakan aliran darah dan menyatakan intensitas aktivitas pada daerah otak yang bervariasi
e)    Brain Electrical Activity Mapping (BEAM)
Alat yang dapat menunjukkan respon gelombang otak terhadap ransangan yang bervariasi disertai dengan adanya respons yang terhambat dan menurun, kadang-kadang di lobus frontal dan sistem limbik.
f)    Addiction Severity Index (ASI)
ASI dapat menentukan masalah ketergantungan (ketergantungan zat), yang mungkin dapat dikaitkan dengan penyakit mental, dan mengindikasikan area pengobatan yang diperlukan.
g)    Electroensephalogram (EEG)
Dari pemeriksaan didapatkan hasil yang mungkin abnormal, menunjukkan ada atau luasnya kerusakan organik pada otak.

b.    Metode psikososial
Psikoterapi ialah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seseorang pasien yang dilakukan oleh seseorang yang terlatih dalam hubungan profesional secara sukarela, dengan maksud hendak menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala-gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif (Maramis, 2009, hlm. 478).
Menurut Hawari (2001, hlm. 111), Terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri, tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Terapi psikoreligious juga dapat menjadi alternatif bagi penderita gangguan jiwa seperti kegiatan ibadah.

0 Response to "asuhan keperawatan perilaku kekerasan"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Klik salah satu Link di Bawah ini, untuk menutup BANNER ini...