Latest News

sejarah Kerajaan Sunda / Pajajaran

Berdasarkan naskah kuno yang ditemukan, di daerah Jawa Barat telah berulang kali terjadi perpindahan pusat kerajaan Hindu sesudah Tarumanegara. Secara berurutan pusat-pusat kerajaan itu adalah Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran............

a. Bidang Politik
Akibat sumber-sumber sejarah yang sangat terbatas, aspek kehidupan politik tentang Kerajaan Sunda/Pajajaran hanya sedikit saja yang diketahui. Aspek kehidupan politik yang diketahui terbatas pada perpindahan pusat pemerintahan dan pergantian takhta raja.

1) Kerajaan Galuh
Sejarah di Jawa Barat setelah Tarumanegara tidak banyak diketahui. Kegelapan itu sedikit tersingkap oleh Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal dibuat oleh Sanjaya sebagai tanda kebesaran dan kemenangannya. Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Sanna. Dalam kitab Carita Parahyangan juga disebutkan nama Sanjaya. Menurut versi kitab Carita Parahyangan, Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh.

Sena adalah anak Mandiminyak dari hasil hubungan gelap dengan Pwah Rababu, istri Rahyang Sempakwaja yang merupakan kakak sulung Mandiminyak, sebagai Raja Galuh. Diduga karena raja tidak mempunyai putra mahkota, setelah Mandiminyak mangkat, Sena diangkat menjadi raja. Raja Sena berkuasa selama tujuh tahun. Suatu ketika Raja Sena diserang oleh Rahyang Purbasora (saudara seibu) dan mengalami kekalahan. Akibatnya, Raja Sena diasingkan ke Gunung Merapi beserta keluarganya. Di sinilah anaknya lahir dan diberi nama Sanjaya. Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya di Denuh. Akhirnya, Sanjaya berhasil mengalahkan Purbasora, kemudian naik takhta di Kerajaan Galuh. Menurut naskah Kropak 406, Sanjaya disebut sebagai Harisdarma yang menjadi menantu Raja Tarusbawa (Tohaan di Sunda). Sanjaya kemudian diangkat menjadi raja menggantikan Tarusbawa.

Di Jawa Barat, selain Kerajaan Galuh masih ada pusat kerajaan lain, yaitu Kerajaan Kuningan yang diperintah oleh Sang Sowokarma. Agama yang berkembang pada masa Kerajaan Galuh adalah Hindu Syiwa. Hal itu dinyatakan dengan jelas pada Prasasti Canggal. Raja Galuh juga menganut Sewabakti ring Batara Upati (upati = utpata = nama lain dari Dewa Yama yang identik dengan Syiwa).

2) Pusat Kerajaan Prahajyan Sunda
Nama Sunda muncul lagi pada Prasasti Sahyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang daerah Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952 Saka (1030 M), berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Nama tokoh yang disebut adalah Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwanaman-daleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, sedangkan daerah kekuasaannya disebut Prahajyan Sunda. Prasasti Sanghyang Tapak, antara lain menyebutkan bahwa pada tahun 1030 Jayabhupati membuat daerah larangan di sebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah larangan itu berupa sebagian sungai yang siapa pun dilarang mandi dan menangkap ikan di dalamnya. Siapa pun yang melanggar larangan akan terkena kutukan yang mengerikan, misalnya akan terbelah kepalanya, terminum darahnya, atau terpotong-potong ususnya.

Berdasarkan gelarnya yang menunjukkan persamaan dengan gelar Airlangga di Jawa Timur dan masa pemerintahannya pun bersamaan, ada dugaan bahwa di antara kedua kerajaan tersebut ada hubungan atau pengaruh. Akan tetapi, Jayabhupati berulang kali menyatakan bahwa dirinya adalah haji ri Sunda (raja di Sunda). Jadi, Jayabhupati bukan raja bawahan Airlangga. Sementara itu, perihal kutukan bukanlah sesuatu yang biasa terdapat pada prasasti yang berbahasa Sunda sehingga kemungkinan Jayabhupati bukan orang Sunda asli. Agama yang dianut Sri Jayabhupati adalah Hindu Waisnawa. Ini ditunjukkan oleh gelarnya (Wisnumurti). Gelar ini ternyata sama pula dengan agama yang dianut Raja Airlangga. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa agama resmi yang dianut penduduk Jawa pada awal abad ke-11 adalah Hindu Waisnawa.

3) Pusat Kerajaan Kawali
Pada zaman pemerintahan siapa pusat Kerajaan Sunda mulai berada di Kawali tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, menurut prasasti di Astanagede (Kawali), diketahui bahwa setidak-tidaknya pada masa pemerintahan Rahyang Niskala Wastu Kancana pusat kerajaan sudah berada di situ. Istananya bernama Surawisesa. Raja telah membuat selokan di sekeliling keraton dan mendirikan perkampungan untuk rakyatnya.

Menurut kitab Pararaton, pada tahun 1357 Masehi terjadi peristiwa Pasundan–Bubat atau Perang Bubat, yaitu peperangan antara Sunda dan Majapahit. Pada masa itu Sunda diperintah oleh Prabu Sri Baduga Maharaja (ayah Wastu Kancana) dan Majapahit diperintah oleh Raja Hayam Wuruk. Pada pertempuran itu Prabu Maharaja gugur. Ketika Perang Bubat terjadi, Wastu Kancana masih kecil sehingga pemerintahannya untuk sementara diserahkan kepada pengasuhnya, yaitu Hyang Bunisora. Ia menjalankan pemerintahan selama 14 tahun (1357–1371).

Wastu Kancana setelah dewasa menerima kembali tampuk pemerintahan dari Hyang Bunisora. Wastu Kancana memerintah cukup lama (1371–1471) karena masyarakat mendukungnya. Wastu Kancana didukung masyarakat karena selalu menjalankan agama dengan baik dan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Setelah mangkat, Raja Wastu Kancana dimakamkan di Nusalarang. Penggantinya adalah putranya sendiri, Tohaan di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana. Raja Rahyang Ningrat Kancana memerintah hanya tujuh tahun (1471–1478). Pemerintahan Raja Rahyang Ningrat Kancana berakhir karena salah tindak, yaitu mencintai wanita terlarang dari luar. Setelah mangkat, raja itu dimakamkan di Gunung Tiga.

4) Pusat Kerajaan Pakwan Pajajaran
Setelah Raja Rahyang Ningrat Kancana jatuh, takhtanya digantikan oleh putranya, Sang Ratu Jayadewata. Pada Prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai yang kini menjadi Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada Prasasti Batutulis Sang Jayadewata disebut dengan nama Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Sejak pemerintahan Sri Baduga Maharaja, pusat kerajaan beralih dari Kawali ke Pakwan Pajajaran yang dalam kitab Carita Parahyangan disebut Sri Bima Unta Rayana Madura Suradipati. Menurut kitab Carita Parahyangan, raja menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab hukum yang berlaku sehingga terciptalah keadaan aman dan tenteram, tidak terjadi kerusuhan atau perang.

Sang Ratu Jayadewata sudah memperhitungkan terhadap makin meluasnya pengaruh Islam di wilayah Kerajaan Sunda. Untuk membendung pengaruh tersebut, baginda menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka. Pada tahun 1512 dan 1521 diutuslah Ratu Samiam dari Sunda ke Malaka. Akan tetapi, pada tahun 1522 ketika Henrique leme memimpin perutusannya ke Sunda, Ratu Samiam sudah berkuasa sebagai raja dan disebut Prabu Surawisesa. Rupanya dialah yang menggantikan Sang Ratu Jayadewata. Ratu Samiam memerintah selama 14 tahun (1521–1535). Setelah itu, Ratu Samiam digantikan oleh Prabu Ratudewata yang memerintah tahun 1535–1543.

Pada masa itu sering terjadi serangan terhadap Kerajaan Sunda, antara lain dari kelompok Islam yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin dan Maulana Yusuf dari Kerajaan Banten. Keterangan ini tidak bertentangan dengan naskah Purwaka Caruban Nagari, berkaitan dengan sejarah Cirebon. Diceritakan pula dalam naskah itu bahwa pada abad ke-15 M, di Cirebon telah ada perguruan Islam, jauh sebelum Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) berdakwah menyebutkan agama Islam.

Jatuhnya Sunda Kelapa, pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda ke tangan pasukan Islam pada tahun 1527 menyebabkan terputusnya hubungan antara Portugis dan Kerajaan Sunda. Keadaan itu ikut melemahkan pertahanan Sunda sehingga satu demi satu pantainya jatuh ke tangan musuh. Keadaan makin buruk karena Prabu Ratudewanata lebih berkonsentrasi sebagai pendeta dan kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat. Adapun penggantinya, Sang Ratu Saksi yang memerintah tahun 1443–1551 adalah raja yang kejam dan gemar “main wanita”. Demikian pula penggantinya, Tohaan di Majaya yang memerintah tahun 1551–1567, suka memperindah istana, berfoya-foya, dan mabuk-mabukan. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Raja Nuisya Mulya Kerajaan Sunda sudah tidak mungkin dipertahankan lagi dan akhirnya jatuh ke tangan orang-orang Islam. Sejak tahun 1579 tamatlah riwayat Kerajaan Sunda di Jawa Barat.

b. Bidang Sosial
Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian memberi penjelasan adanya kelompok-kelompok masyarakat di dalam Kerajaan Sunda. Kelompok itu tidak berdasarkan jabatan dalam pemerintahan tetapi berdasarkan fungsi yang dimiliki masing-masing kelompok itu. Kelompok masyarakat itu, antara lain sebagai berikut.
1) Kelompok Ekonomi
Kelompok ekonomi yang dimaksud adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi, misalnya, juru lukis (pelukis), pande dang (pembuat perabot rumah tangga), pande mas (perajin emas), palika (nelayan), rare angon (penggembala), dan penyawah (petani).
2) Kelompok Alat Negara
Kelompok masyarakat yang bertugas sebagai alat negara, misalnya bhayangkara (penjaga keamanan), prajurit (tentara), pam(a)rang (pemerang, tentara) nu nangganan (jabatan di bawah mangkubumi) dan hulu jurit (kepala prajurit).
3) Kelompok Rohani dan Cendekiawan
Kelompok rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yangmempunyai kemampuan di bidang tertentu, misalnya memen (dalang) yang  mengetahui berbagai macam cerita; paraguna yang mempunyai pengetahuan berbagai macam lagu dan nyanyian; hempal yang mengetahui berbagai macam permainan; prepatun yang mempunyai berbagai macam cerita pantun; pratanda yang mengetahui berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan; brahmana yang mengetahui berbagai macam mantra; janggan yang mengetahui berbagai macam pemujaan yang dilakukan di sanggar.

Tidak kalah menariknya pada masa Kerajaan Sunda juga telah diketahui kelompok masyarakat yang melakukan pekerjaan tidak disukai orang. Pekerjaan tidak terpuji itu, antara lain nyepet (mencopet), ngarebut (merampok), maling (pencuri), dan papanjingan (memasuki rumah orang). Pekerjaan seperti itu disebut cakap carut, yaitu sesuatu yang pantang diturut. Kehidupan manusia peladang akan menunjukkan ciri masyarakat peladang, yaitu sering berpindah-pindah. Bentuk kehidupan sering berpindah menyebabkan masyarakatnya tidak membuat bangunan permanen dan kukuh. Oleh karena itu, wajar kalau dari masyarakat Kerajaan Pajajaran tidak ditemui peninggalan berupa bangunan, misalnya candi.

Hasil kebudayaan masyarakat Kerajaan Pajajaran yang sampai pada kita umumnya berupa sastra tulis dan sastra lisan. Bentuk sastra tulis itu, misalnya kitab Carita Parahyangan, Sawakanda atau Serat Kanda, dan Sanghyang Siksakandang Karesian. Adapun bentuk sastra lisan yang dijumpai umumnya berupa cerita pantun, seperti Langgalarang Banyak Catra, Haturwangi, dan Siliwangi.

c. Bidang Ekonomi
Masyarakat Kerajaan Sunda umumnya hidup dari pertanian, khususnya ladang. Bukti ini didapat dari kitab Carita Parahyangan, misalnya ada keterangan pahuma (peladang), panggerek (pemburu), dan penyadap (penyadap). Ketiganya merupakan jenis pekerjaan di ladang. Selain bertumpu pada sektor pertanian, perekonomian Kerajaan Sunda juga didukung oleh perdagangan. Hal itu dibuktikan dengan dimilikinya enam buah bandar yang cukup ramai dan penting. Melalui keenam bandar itu dilakukan usaha perdagangan dengan daerah dan kerajaan lain. Masyarakat Sunda di dalam melakukan jual beli telah menggunakan mata uang. Mereka sudah tidak melakukan pertukaran barang dengan barang. Mata uang yang digunakan di dalam jual beli, antara lain ceitis, calais, mates, dan tumdaya.........

0 Response to "sejarah Kerajaan Sunda / Pajajaran"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Klik salah satu Link di Bawah ini, untuk menutup BANNER ini...