1. Menentukan Sikap
Penyair
Seperti yang Anda ketahui
bahwa setiap karya sastra mewakili pandangan hidup pengarangnya. Di dalamnya
memuat berbagai macam ideologi, kepentingan, harapan, dan lain sebagainya yang
merupakan perwujudan dari diri pengarangnya.
Coba Anda perhatikan nukilan
sajak berikut yang merupakan terjemahan Taufik Ismail dari penyair Boris
Pasternak yang berjudul “Batasan Sajak”.
Sajak adalah siul melengking
curam
Sajak adalah gemertak
kerucut salju beku
Sajak adalah daun-daun
menges sepanjang malam
Sajak adalah dua ekor burung
malam menyanyikan duel
Sajak adalah manis kacang
kapri mencekik mati
Sajak adalah air mata dunia
di atas bahu
(Sumber: Putu Arya Tirtawirya,
1982)
Berdasarkan puisi di atas,
penyair ingin menyatakan sikapnya terhadap batasan/pengertian sajak. Dia
memaknai sajak sebagai sesuatu yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata
indah. Ia banyak menampilkan kata-kata yang terasa mengerikan seperti siul
melengking namun curam, dua ekor burung menyanyikan lagu duel atau seperti
kacang kapri yang manis namun membuat kematian, dan perumpamaan lain.
Penyair lain, seperti Tagore
pun memiliki sikap yang tegas dalam memandang dunia. Ia ingin hidup dengan
penuh keselarasan dan keharmonisan. Walaupun cintanya besar kepada Tuhan, ia
tidak mau membelakangi hal-hal Duniawi
Cermati puisi berikut!
(lirik ke- 43)
Tidak kawanku, aku tidak
akan meninggalkan dapur dan rumahku,
dan lari ke sunyi belantara,
jika tak ada tawa gembira yang berdenting
dalam kerindangannya yang
penuh gema itu, dan jika tak ada mantel kuning
muda yang ujungnya
berkebaran di angin, jika kesunyiannya itu tidak
dimesrai bisik risik yang
lembut halus.
Aku tidak akan jadi pendeta.
2. Menilai Penghayatan
Bagaimana penghayatan
seorang penyair terhadap puisi yang ditulisnya, tentu tidak diragukan, karena
puisi merupakan cetusan hati/ungkapan perasaan penyair. Anda dapat mengamati
kembali puisi “Tukang Kebun” di mana Penyair memiliki penghayatan yang dalam
terhadap cintanya kepada alam dan kepada Tuhan yang telah menganugerahkan alam
kepada manusia. Ya, tahu aku, ini hanyalah kasih-Mu semata-mata, o kekasih
hatiku! Cahaya emas yang menari di atas daun, awan yang tiada bertuju ini, yang
berlayar di atas langit, angin yang menyisir lalu yang mengusap sejuk keningku.
(Terjemahan: Amal Hamzah
dalam Tukang Kebun, 1976:8)
0 Response to "Menganalisa dan mendengarkan puisi terjemahan"