Latest News

Adaptasi dalam pewarisan budaya


Setiap manusia yang telah melakukan internalisasi terhadap budaya yang diwarisinya diharapkan dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Menurut William A. Haviland (1999) adaptasi mengacu pada proses interaksi antara perubahan yang ditimbulkan oleh organisme pada lingkungannya dan perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan pada organisme. Adaptasi adalah penyesuaian dua arah, yaitu antara organisme dengan lingkungannya. Adaptasi sangat diperlukan agar semua bentuk kehidupan dapat bertahan hidup termasuk manusia.

Bagaimana cara manusia beradaptasi? Menurut William A. Haviland (1999), “manusia beradaptasi melalui medium kebudayaan pada waktu mereka mengembangkan cara-cara untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan sumber daya yang mereka temukan dan juga dalam batas-batas lingkungan tempat mereka hidup. Di daerah-daerah tertentu, orang yang hidup dalam lingkungan yang serupa cenderung saling meniru kebiasaan, yang tampaknya berjalan baik di lingkungan itu”. Keberhasilan beradaptasi akan menjadikan manusia sebagai pribadi yang selaras dengan lingkungan budaya dan sosialnya.

Manusia mampu beradaptasi dengan lingkungan hidupnya bersama budaya yang dimilikinya. Manusia membuat pakaian dan tempat berlindung seperti gua dan rumah agar dapat bertahan hidup dalam situasi dan kondisi iklim dan cuaca buruk. Manusia membuat senjata seperti tombak, panah, jaring perangkat agar dapat bertahan hidup dari terkaman buaya. Sesuai dengan nalurinya sebagai makhluk berbudaya, manusia mampu mengorganisasikan dirinya sedemikian rupa sehingga taraf hidupnya lebih unggul dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain.

Menurut William A. Haviland (1999), berburu dan meramu adalah tipe adaptasi manusia yang tertua dan mendasar. Koentjaraningrat (1999) menjelaskan; “berburu dan meramu merupakan mata pencaharian manusia yang sangat berhubungan. Suku-suku bangsa pemburu biasanya juga meramu, yaitu mengumpulkan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dan akar-akar atau umbi yang dapat dimakan, dan bahkan mencari ikan. Dalam Antropologi ketiga jenis mata pencaharian ini disebut dengan ekonomi pengumpulan bahan pangan. Setelah bertahan selama hampir 2 juta tahun, berburu dan meramu mulai ditinggalkan dan hilang dari muka bumi sejak abad ke-19, bersamaan dengan dikenal dan beralihnya manusia ke pertanian.

Tipe adaptasi manusia selanjutnya adalah bertani. Menurut ahli sejarah kebudayaan, Verre Gordon Childe yang dikutip oleh Koentjaraningrat dalam buku Pengantar Antropologi (1999 : 53), penemuan kepandaian bercocok tanam merupakan suatu peristiwa sangat penting dalam proses perkembangan kebudayaan umat manusia, yang disebutnya suatu revolusi kebudayaan. Dari bercocok tanam ladang yang berpindah-pindah ke bercocok tanam yang menetap. Ada beberapa cara bercocok tanam menetap, berawal dari bercocok tanan tanpa menggunakan tanpa bajak (hand agriculture) hingga bercocok tanam dengan menggunakan bajak (plough agriculture).

Kemajuan teknik pertanian menyebabkan melimpahruahnya hasil pertanian. Kemakmuran akan diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk, atau bisa juga sebaliknya. Hal ini akan mendorong berubahnya pemukiman petani menjadi kota. Kehadiran kota tentu membawa cara hidup yang sama sekali baru. Perubahan lingkungan alam dan sosial harus diikuti oleh adaptasi manusia terhadap lingkungan itu agar dapat bertahan hidup. Muncul spesialisasi dalam berbagai bidang kehidupan yang melahirkan profesi. Muncul tukang kayu, pandai besi, pemahat, pembuat keranjang, pemecah batu, dokter, guru, pengacara, pengusaha, bankir, montir, juru masak, tentara, dan sebagainya.

0 Response to "Adaptasi dalam pewarisan budaya"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Klik salah satu Link di Bawah ini, untuk menutup BANNER ini...