Latest News

kebudayaan suku bangsa dayak : studi etnografi

MENGENAL KEBUDAYAAN SUKU BANGSA DAYAK
Suku bangsa Dayak sebenarnya sangat heterogen. Heterogenitas tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri fisik dan budayanya. Masyarakat Dayak mengenal bahasa pergaulan sehari-hari yang disebut bahasa ‘busang.’ Dilihat dari pola menetapnya, kita mengenal beberapa suku bangsa Dayak sebagai berikut.
a) Suku bangsa Dayak Ngaju atau Ola Ngaju berada di daerah Kalimantan Tenggara.
b) Suku bangsa Dayak Kayan berada di daerah Kalimantan Utara.
c) Suku bangsa Dayak Maanyan Siung berada di daerah Kalimantan
Selatan, sepanjang Sungai Siung yakni anak Sungai Barito. Uraian di buku ini banyak dikutip dari suku bangsa Dayak ini.
d) Kelompok-kelompok lain yang tersebar di pedalaman Pulau Kalimantan seperti Dayak Kenyah, Iban, Ot Danum.
e) Suku bangsa Punan. Dalam buku-buku etnografi, suku bangsa ini tidak dikategorikan sebagai suku bangsa Dayak. Suku bangsa ini merupakan suku bangsa terasing yang hidup di Kalimantan Tengah. Mereka hidup berpindah-pindah sebagai peladang dan peramu hasil hutan.

Sistem Religi dan Kepercayaan Kebudayaan Suku Bangsa Dayak

Agama asli orang Dayak adalah Kaharingan. Sebutan Kaharingan diambil dari istilah Danum Kaharingan yang berarti air kehidupan. Dalam dongeng-dongeng suci, air dipercaya dapat memberi kehidupan pada manusia. Umat Kaharingan percaya bahwa alam sekitar tempat tinggal manusia penuh dengan makhluk-makhluk halus dan roh-roh (ganan dalam bahasa Ngaju) yang menempati tiang rumah, batu-batu besar, pohon-pohon besar, hutan belukar, dan air. Ganan mempunyai sebutan yang berbeda-beda, yaitu:
1) sangiang, nayu-nayu (dalam bahasa Ngaju) yaitu roh-roh baik
2) taloh, kambe (dalam bahasa Ngaju) yaitu roh-roh jahat Selain ganan, ada segolongan makhluk halus yang mempunyai peran sangat penting dalam kehidupan orang Dayak, yaitu roh nenek moyang (liau dalam bahasa Ngaju, rio dalam Ma’anyan). Menurut kepercayaan orang Dayak, jiwa (hambaruan) orang mati itu meninggalkan tubuh dan menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia sebagai liau. Lambat laun laiu akan kembali kepada dewa tertinggi yang disebut Ranying, tetapi prosesnya memakan waktu yang sangat lama serta melalui bermacam-macam rintangan dan ujian sebelum akhirnya masuk ke dunia roh yang bernama Lewu Liau dan menghadap Ranying. Dalam syair-syair suci orang Ngaju dunia roh disebut “negeri kaya- raya” yang berpasir emas, berbukit intan, dan berkerikil manik, tempat dimana tak ada kemalangan, kesusahan, dan kelelahan.

Upacara-upacara yang dilakukan oleh orang-orang Dayak dapat diuraikan sebagai berikut:
1) upacara keagamaan yang ditujukan kepada roh nenek moyang dan makhluk halus yang menempati alam sekeliling
2) upacara menyambut kelahiran anak
3) upacara memandikan bayi untuk pertama kali
4) upacara memotong rambut bayi
5) upacara penguburan mayat
6) upacara pembakaran mayat.
Kalau orang Dayak meninggal, mayatnya dikubur dulu dalam sebuah peti mayat yang terbuat dari kayu berbentuk perahu lesung (raung dalam bahasa Ngaju). Kuburan ini dianggap sebagai kuburan sementara sebelum mayat dibakar dalam suatu upacara terpenting bagi orang Dayak, yaitu upacara pembakaran mayat secara besarbesaran yang pada orang Ngaju disebut tiwah (daro Ot. Danum; Ijambe’ Ma’anyan).
Pada upacara tersebut, tulang-belulang semua orang sekerabat yang telah meninggal digali kemudian dibakar dan abunya ditempatkan pada tempat pemakaman berupa bangunan (tambak). Upacara ini biasanya dilakukan oleh keluarga-keluarga luas secara besar-besaran dan berlangsung sampai dua-tiga minggu lamanya. Pengunjung dari berbagai desa datang untuk merayakan upacara pembakaran mayat (tiwah) ini. Upacara tiwah memakan biaya yang cukup besar. Biaya tersebut meliputi biaya makanan dan minuman untuk para tamu, biaya para pelaku upacara (para balian), dan biaya alat-alat musik untuk mempertunjukkan tarian suci yang menarik. Tetapi walupun memakan biaya banyak ritual ini dipercaya juga akan membawa suatu berkah bagi orang yang melaksanakan ritual. Upacara ini dilaksanakan oleh keluarga yang memiliki ekonomi atas.

Sistem Kekerabatan Kebudayaan Suku Bangsa Dayak
Sistem kekerabatan orang Dayak didasarkan pada prinsip ambilineal, yaitu menghitung hubungan kekerabatan untuk sebagian masyarakat melalui garis keturunan laki-laki, dan sebagian masyarakat melalui garis keturunan perempuan.
Dahulu, ketika rumah-rumah panjang masih ada, kelompok kekerabatan didasarkan pada prinsip ambilineal kecil atau utrolokal dengan orientasi terhadap nenek moyang yang masih hidup, dua atau tiga generasi. Pada masa sekarang, kelompok kekerabatan keluarga luas utrolokal merupakan isi suatu rumah tangga. Rumah tangga ini juga berlaku sebagai kesatuan fisik, misalnya dalam sistem gotong-royong dan sebagai kesatuan rohaniah dalam upacara agama Kaharingan. Setiap keluarga luas mempunyai pelindung.
Kewargaan dari suatu rumah tangga tidak statis, karena tergantung dari tempat tinggal pada waktu ia menikah. Perkawinan yang dianggap ideal pada orang Dayak adalah perkawinan antara dua orang bersaudara sepupu, yang kakek-kakeknya adalah saudara sekandung (hajanen dalam bahasa Ngaju). Perkawinan dua orang saudara sepupu yang ibu-ibunya bersaudara kandung (cross cousin) juga dianggap baik. Perkawinan yang dianggap sumbang adalah perkawinan antara dua sepupu yang ayahayahnya adalah bersaudara sekandung (part-paralel cousin). Orang Dayak tidak melarang gadis-gadis mereka menikah dengan laki-laki suku bangsa lain, asalkan laki-laki tersebut bersedia tunduk kepada adat mereka dan bersedia terus berdiam di desa mereka.

Sistem Politik Kebudayaan Suku Bangsa Dayak

Pemerintahan desa secara formal berada di tangan pembekal dan panghulu. Pembekal bertindak sebagai pemimpin administratif. Panghulu merupakan kepala adat dalam desa. Syarat untuk mejadi pembekal adalah kemampuan menulis dan membaca huruf latin, mempunyai rumah, serta mempunyai pengaruh.
Adapun syarat untuk menjadi panghulu adalah ahli dalam masalah-masalah adat, karena panghulu akan menjadi orang yang diminta bertindak untuk memutuskan perkara-perkara hukum adat, dan menjadi wakil desanya pada upacara-upacara adat yang diadakan di desa tetangga. Kedudukan pembekal dan panghulu sangat terpandang di desa. Mereka memperoleh jabatan melalui pemilihan oleh warga desa. Dahulu kedua jabatan itu dirangkap oleh seorang kepala desa yang disebut patih. Tetapi, sejalan dengan perkembangan zaman yang mengakibatkan pekerjaan administratif semakin bertambah, akhirnya terjadi pemisahan. Selain pembekal dan panghulu ada pula satu dean yang terdiri atas orang tua-tua desa yang dianggap juga ahli dalam adat. Mereka merupakan penasehat panghulu dalam soal adat. Dewan ini disebut mantir.
Menurut A.B. Hudson, hukum pidana RI telah berlaku pada orang Dayak untuk mendampingi hukum adat yang ada. Keduanya saling mengisi, tetapi terkadang terdapat perbedaan. Misalnya, seorang penduduk desa memasang perangkap rusa di hutan. Seorang laki-laki kemudian terkena perangkap tersebut hingga ia meninggal. Laki-laki tersebut merupakan anak tunggal dari seseorang yang sudah lanjut usianya. Anak laki-laki tersebut merupakan tulang punggung keluarga dan pencari nafkah. Menurut hukum pidana, si pemasang perangkap rusa tidak bersalah karena tidak terdapat unsur kejahatan. Tetapi menurut hukum adat Dayak ia bersalah dan harus di-danda (memberi ganti kerugian). Denda bagi pemasang perangkap tersebut adalah harus memberi nafkah  orang tua korban.

Sistem Ekonomi Kebudayaan Suku Bangsa Dayak
Bercocok tanam di ladang adalah mata pencaharian orang Dayak. Mereka membuat ladang dengan cara menebang pohon-pohon di hutan. Batang-batang serta daun-daun dibiarkan mengering selama dua bulan kemudian dibakar. Pada musim hujan, sekitar bulan Oktober, mereka mulai menanam. Laki-laki berbaris di muka sambil menusuk-nusuk tanah dengan tongkat tunggalnya. Sedangkan para wanita berbaris di belakang sambil memasukkan beberapa butir padi ke dalam lubang yang telah dibuat oleh kaum laki-laki.
Selain padi, mereka juga menanam ubi kayu, ubi rambat, keladi, terong, nanas, pisang, tebu, cabe, berbagai macam labu-labuan, dan ada kalanya tembakau. Pohon buah-buahan yang banyak ditanam di ladang ialah durian, cempedak, dan pinang. Setelah ladang dipanen beberapa kali tanah mulai tandus. Sebelum mereka meninggalkan tanah tersebut, mereka menanam pohon karet untuk diambil hasilnya kelak.
Berburu babi dan rusa di hutan sekitar tempat kediaman mereka sering dilakukan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Alat-alat berburu sangat tradisional, seperti dondang, lonjo (tombak), ambang (parang), jarat (jerat), sipet (berisikan ranjau kayu atau bambu runcing). Mereka juga mencari hasil hutan seperti mengumpulkan rotan, karet, dan damar. Pekerjaan tersebut dilakukan untuk menambah nafkah keluarga. Mereka menjual hasil hutan kepada tengkulak atau pedagang yang sengaja datang ke desa mereka. Kemudian para pedagang membawa hasil hutan tersebut ke kota-kota atau menjualnya di pasar. Kadang-kadang mereka menggunakan sistem barter. Para pedagang membawa gula, kopi atau keperluan rumah tangga lain untuk ditukarkan dengan hasil hutan.
Orang Dayak terkenal dengan seni menganyam kulit, rotan, tikar, keranjang-keranjang, dan topi-topi. Produksi mereka diperdagangkan di pasar-pasar Kuala Kapuas, Banjarmasin, Sampit, dan kota-kota lain. Pada masa sekarang produksi kain dari kulit kayu (ewah) untuk dipakai sendiri sudah mulai berkurang. Ewah telah digantikan kain impor yang masuk sampai ke pedalaman. Orang Dayak sudah banyak berpakaian lengkap seperti orang Indonesia lainnya. Misalnya, kaum laki-laki memakai hem dan celana, kaum wanita memakai kain kebaya dan sarung. Bahkan para pemudinya sudah banyak memakai potongan rok Eropa. Orang Dayak banyak berhubungan dengan orang luar seperti orang Melayu, Jawa, Bugis, Cina, Arab, dan Eropa. Beberapa pemuda Dayak yang telah mendapatkan pendidikan berusaha memajukan suku bangsanya dengan berbagai cara antara lain mendirikan organisasi Serikat Dayak, Koperasi Dayak, dan lain-lain.

0 Response to "kebudayaan suku bangsa dayak : studi etnografi"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Klik salah satu Link di Bawah ini, untuk menutup BANNER ini...