Menurut Josselin de Jong, yang dikutip oleh Zulyani Hidayah (1999:XII-XIII) keberagaman budaya yang tersebar di Indonesia memiliki landasan pemikiran, yaitu:
1) Bahwa pada masa lampau masyarakat Indonesia itu terdiri dari beberapa persekutuan yang berlandaskan ikatan kekerabatan yang menganut garis keturunan secara unilineal, baik melalui keibuan maupun kebapakan.
2) Di antara persekutuan kekerabatan itu terjalin hubungan kawin secara tetap, sehingga terjelma tata hubungan yang mendudukkan kelompok kerabat pemberi pengantin wanita lebih tinggi daripada kedudukan kelompok kerabat yang menerima pengantin wanita.
3) Seluruh kelompok kekerabatan yang ada biasanya terbagi dalam dua puluh masyarakat yang dikenal dengan istilah antropologis "Moiety" yang satu sama lain ada dalam hubungan saling bermusuhan maupun dalam berkawan, sehingga nampaknya persaingan yang diatur oleh adat.
4) Keanggotaan setiap individu, karenanya bersifat ganda dalam arti bahwa setiap orang bukan hanya menjadi anggota kelompok kerabat yang unilineal, melainkan juga anggota kesatuan paruh masyarakat.
5) Pembagian masyarakat dalam dua paruh masyarakat itu mempengaruhi pengertian masyarakat terhadap isi semesta ke dalam dua kelompok yang seolah-olah saling mengisi dalam arti serba dua yang dipertentangkan dan sebaliknya juga saling diperlukan adanya.
6) Akibatnya juga tercermin dalam sistem penilaian dalam masyarakat yang bersangkutan. Ada pihak yang baik dan sebaliknya adapula pihak yang jahat atau buruk.
7) Seluruh susunan kemasyarakatan itu erat dihubungkan dengan sistem kepercayaan masyarakat yang bersangkutan, terutama yang berkaitan dengan kompleks totemisme yang didominasi dengan upacara-upacara keagamaan dalam bentuk rangkaian upacara inisiasi dan diperkuat dengan dongeng-dongeng suci baik yang berupa kesusastraan ataupun tradisi lisan.
8) Sifat serba dua juga tercermin dalam tata susunan dewa-dewa yang menjadi pujaan masyarakat yang bersangkutan. Walaupun dikenal lebih dari dua dewa, mereka menggolongkan ke dalam dua golongan dewa baik dan dewa buruk. Dewa yang tergolong buruk biasanya mempunyai sifat ganda karena di satu pihak digambarkan sebagai anggota masyarakat dewa yang mewakili golongan atas dan dipuja.
9) Tata susunan masyarakat dewa itu ternyata mempengaruhi tata susunan kepemimpinan masyarakat dalam kehidupan politik yang seringkali merupakan pencerminan tentang kepercayaan yang berpangkal pada kehidupan dewata.
0 Response to "Landasan Pemikiran Keberagaman Budaya Yang Tersebar Di Indonesia"