Latest News

Masuk dan Berkembangnya Agama serta Kebudayaan Hindu–Buddha di Indonesia

Secara geografis, Indonesia terletak di antara dua benua dan dua samudera. Dengan didukung melimpahnya kekayaan alam tropis Indonesia, banyak bangsa lain yang membeli berbagai hasil kekayaan alam Indonesia sekaligus juga berjualan berbagai barang dari negeri mereka sehingga menjadi persimpangan lalu lintas dunia. Dengan demikian, terjadilah hubungan dagang dengan dunia luar, terutama dengan India dan Cina.........

Orang India diperkirakan telah mengenal Indonesia sejak sebelum Masehi. Hal itu dibuktikan dalam kitab Ramayana terdapat nama Jawadwipa (jawa berarti jawawut atau beras; dwipa berarti pulau). Di samping itu, ada lagi nama Suwarnadwipa (suwarna berarti emas; dwipa berarti pulau). Tentu yang dimaksudkan Jawadwipa adalah Pulau Jawa (karena gudangnya beras), sedangkan yang dimaksudkan Suwarnadwipa adalah Sumatra (karena banyak menghasilkan emas). Perhatian India terhadap Indonesia makin bertambah ketika pada abad ke-2 Masehi, India kekurangan persediaan emas. Hal itu terjadi karena berkurangnya tambang-tambang emas yang ada di India serta terganggunya jalur darat yang membawa emas dari Asia Tengah. Bangsa Yunani–Romawi membayar rempah-rempah serta barang-barang lainnya dari India dengan emas dan perak. Perhiasan manik-manik dari kaca dan batu sebagai barang perdagangan India kemungkinan telah sampai di Indonesia pada abad akhir sebelum Masehi. Hubungan India–Indonesia makin lama makin ramai sehingga melahirkan pusat perdagangan dan pelabuhan di berbagai daerah pantai di Nusantara.

Pada abad ke-5 berkembang pusat perdagangan di Sumatra bagian tengah, menyusul Sriwijaya, Gresik, Tuban, dan Jepara. Dalam berdagang, bangsa Indonesia kemungkinan juga berlaku aktif. Artinya, pedagang Indonesia juga aktif mendatangi pelabuhan-pelabuhan dagang di negeri lain, seperti India dan Cina. Hal itu didasari kemampuan berlayar bangsa Indonesia mengarungi samudera telah dibuktikan sejak lama. Kemampuan berlayar dengan menggunakan perahu sederhana itu digambarkan dengan jelas pada relief Candi Borobudur (850 M).

Hubungan dagang antara Cina dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan (India), Timur Tengah, dan Eropa sebenarnya telah dimulai sejak awal tahun Masehi. Jalur perdagangan di Asia itu pada awalnya melalui daratan yang disebut Jalan Sutra. Disebut Jalan Sutra karena barang utama yang diperdagangkan pada masa itu adalah sutra dari Cina yang terkenal sangat halus. Pada awalnya, Jalan Sutra ini melalui Asia bagian utara. Namun, jalur utara dirasakan kurang aman karena gangguan perampok dan kondisi alam sehingga dialihkan ke jalur tengah. Jadi, jalan perdagangannya meliputi Cina, India, Persia, Mesopotamia, sampai ke Mediterania. Karena biayanya dirasa mahal dan keamanan tetap tidak terjamin jalur perdagangan dialihkan lewat laut. Jalur perdagangan yang melewati laut menyusuri wilayah Indonesia melalui Selat Malaka, Laut Jawa, Selat Makassar, dan Selat Sunda.

Bersamaan dengan berkembangnya hubungan dagang, masuk pula kebudayaan India ke Indonesia. Proses masuknya pengaruh kebudayaan India pada umumnya disebut penghinduan oleh para ahli sejarah. Penggunaan istilah penghinduan harus ekstra hati-hati. Hal itu disebabkan pengaruh yang masuk ke Indonesia bukan hanya pengaruh kebudayaan Hindu, tetapi juga pengaruh agama Buddha. Pada kenyataannya, di Indonesia keduanya tumbuh dalam bentuk sinkretisme Syiwa–Buddha.
Pada dasarnya para ahli sejarah membuat dua kemungkinan tentang proses masuk dan berkembangnya kebudayaan India ke Indonesia.

1. Bangsa Indonesia Bersikap Pasif
Teori ini memberi pengertian bahwa bangsa Indonesia hanya sekadar menerima kebudayaan India yang datang ke Indonesia. Pendapat yang mendukung teori ini cenderung melihat bahwa telah terjadi kolonisasi, baik secara langsung maupun tidak langsung dari bangsa India terhadap bangsa Indonesia. Oleh karena itu, diduga kebudayaan India yang berkembang di Indonesia mempunyai sifat dan bentuk seperti di negeri asal.
2. Bangsa Indonesia Bersikap Aktif
Teori ini memberi pengertian bahwa bangsa Indonesia sendiri yang berperan aktif mencari tahu dan mengembangkan kebudayaan India. Hal itu dimungkinkan karena kemampuan bangsa Indonesia yang dapat mengarungi samudera dengan perahu sederhana dapat mencapai India. Bangsa Indonesia tertarik dengan keteraturan dan keunggulan peradaban India sehingga berkeinginan menirunya. Salah satu caranya adalah bangsa Indonesia mengundang para brahmana India ke Indonesia untuk memperkenalkan kebudayaannya.

Para ahli sejarah juga telah membuat beberapa kemungkinan tentang para pembawa dan pengembang kebudayaan India di Indonesia. Terdapat tiga teori tentang pembawa dan pengimbang kebudayaan India di Indonesia.

1. Teori Ksatria (Pendapat F.D.K. Bosch)
Teori ksatria menyatakan bahwa masuknya kebudayaan India ke Indonesia disebabkan adanya proses kolonisasi di wilayah India oleh orang-orang India. Raja-raja beserta prajurit India datang menyerang dan mengalahkan kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Wilayah koloni-koloni itulah yang menjadi pusat penyebaran kebudayaan India.

2. Teori Waisya (Pendapat N.J. Krom)
Teori waisya menyatakan bahwa masuknya kebudayaan India ke Indonesia dibawa dan disebarkan oleh para pedagang India yang singgah di bandar-bandar Indonesia. Para pedagang India yang singgah di bandar-bandar Indonesia sambil menunggu arah angin yang tepat untuk melanjutkan perjalanan ada yang menetap di Indonesia. Mereka ada yang menetap sementara dan ada pula yang menetap untuk selamanya. Mereka menetap selamanya karena telah menikah dengan wanita Indonesia. Dari perkawinan inilah makin memudahkan proses penyebaran kebudayaan India. Proses penyebaran kebudayaan juga makin lancar apabila para pedagang India itu dekat dengan penguasa lokal.

3. Teori Brahmana (Pendapat J.C. van Leur)
Teori brahmana menyatakan bahwa masuknya kebudayaan India ke Indonesia dibawa oleh para brahmana. Berdasarkan teori ini, para brahmana India itu datang ke Indonesia atas undangan para penguasa lokal di Indonesia. Dengan demikian, kebudayaan India yang berkembang di Indonesia adalah budaya golongan brahmana.
Dari beberapa teori pembawa pengaruh kebudayaan India ke Indonesia, teori brahmana agaknya yang memiliki dasar kuat. Alasan yang dikemukakan para pendukung teori brahmana dalam menyangkal teori lainnya, antara lain sebagai berikut.
a. Tidak ada bukti yang mendukung bahwa para prajurit dan ksatria India mengadakan penguasaan wilayah (kolonisasi) di Indonesia. Sumber tertulis tentang proses kolonisasi, baik dari India maupun Indonesia tidak ditemukan. Selain itu, hal-hal yang selalu mengikuti proses kolonisasi berupa pemindahan segala unsur kemasyarakatan negeri induk (penjajah) tidak ditemui. Kalaupun ada di wilayah Nusantara yang ditempati oleh kelompok masyarakat India bukanlah proses kolonisasi. Namun, mereka adalah masyarakat biasa yang kebetulan bermata pencaharian sama sebagai pedagang. Tempat seperti itu sekarang masih dapat ditemui di bagian wilayah barat Indonesia yang disebut Kampung Keling.
b. Kemungkinan pembawa kebudayaan India ke Indonesia adalah para pedagang sesungguhnya juga kurang tepat. Alasannya, pedagang yang datang ke Indonesia adalah para pedagang keliling yang berasal dari kalangan biasa. Padahal, sifat kebudayaan India yang berkembang di Indonesia adalah kebudayaan tinggi. Alasan lainnya, hubungan pedagang India dengan penguasa lokal di Nusantara hanyalah masalah perdagangan. Dengan demikian, mustahil para pedagang tersebut mempunyai pandangan tentang tata negara dan hal keagamaan.
c. Pengaruh keagamaan dari India yang datang ke Indonesia salah satunya adalah agama Hindu. Padahal, agama Hindu pada awalnya bukanlah agama untuk umum. Artinya, pendalaman agama tersebut hanya dapat dilakukan oleh kaum brahmana. Merekalah yang dibenarkan mendalami kitab-kitab suci. Pada praktiknya, di dalam agama Hindu lahir beberapa aliran. Adapun sekte agama Hindu yang besar pengaruhnya di Jawa dan Bali adalah Saiya- Siddharta. Pada prinsipnya sekte Saiva-Siddharta bersifat esoteris. Untuk mencapai tingkatan brahmana guru, para brahmana biasa mengalami ujian berat dan bertahun-tahun lamanya. Ketika brahmana biasa ditasbihkan menjadi brahmana guru, ia dianggap telah mampu merubah air menjadi amerta. Brahmana demikianlah yang datang ke Indonesia atas undangan para penguasa lokal. Mereka diminta melakukan upacara khusus yang disebut Vratyastoma. Pada dasarnya kesaktian para brahmana inilah yang menyebabkan mereka didatangkan ke Indonesia. Mereka kemudian mendapat kedudukan terhormat di kalangan penguasa Indonesia dan menjadi inti golongan brahmana Indonesia yang berkembang kemudian.

Bersamaan dengan masuknya agama Hindu di Indonesia, masuk pula agama dan kebudayaan Buddha. Berita tentang masuknya agama Buddha di Indonesia bersumber dari keterangan seorang Cina bernama Fa Hien. Dari India, Fa Hien berlayar pulang ke Cina. Pada saat melewati Nusantara, kapalnya mengalami kerusakan akibat angin topan. Fa Hien terpaksa singgah di Ye-po-ti (Jawadwipa). Fa Hien mengatakan bahwa di Ye-po-ti banyak dijumpai berhala dan kaum brahmana, sedangkan agama Buddha hampir tidak ada. Hal itu berarti pada awal abad ke-5 agama Buddha belum masuk ke Jawa. Pada abad ke-7 di Indonesia terdapat prasasti bersifat Buddha yang dibuat oleh raja-raja Sriwijaya. Hal itu menunjukkan bahwa pada abad ke-7 M agama Buddha masuk di Indonesia. Mula-mula yang berkembang adalah aliran Buddha Hinayana. Karena tidak cocok dengan kehidupan perdagangan dan paham animisme yang berkembang di Sriwijaya akhirnya berkembang aliran Buddha Mahayana.

Masuknya kebudayaan India menjadikan bangsa Indonesia mulai mengenal tulisan dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Dengan demikian, Bangsa Indonesia mulai memasuki zaman Sejarah, yaitu suatu periode atau pembabakan waktu ketika manusia mulai mengenal tulisan dan meninggalkan keterangan tertulis yang sezaman. Peninggalan tertulis itu dapat berupa prasasti (tulisan yang dipahatkan pada batu), tulisan pada daun lontar, ataupun dokumen lainnya. Setelah bangsa Indonesia mengenal huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta, pertumbuhan dan perkembangan masyarakat serta kebudayaannya makin cepat. Struktur masyarakat mulai berkembang lebih teratur dan terorganisasi. Masyarakat yang sebelumnya hanya merupakan kelompok-kelompok sosial yang dipimpin oleh kepala suku mulai mengenal sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan yang bercorak Hindu ataupun Buddha.

Agama Hindu pada awal perkembangannya di Indonesia membawa pengaruh besar dalam sistem kemasyarakatannya. Sistem kasta yang sebenarnya bermakna pada pembagian tugas dan kewajiban pada setiap orang yang berlaku di dalam ajaran Hindu di India juga berkembang di Indonesia. Dengan sistem kasta menyebabkan masyarakat Hindu seakan-akan saling hidup terpisah dan membentuk kelompok sosial sendiri. Hal itu menyebabkan adanya jurang pemisah yang lebar antara kasta tinggi (kasta Brahmana dan kasta Ksatria) dan kasta rendah (kasta Waisya dan kasta Sudra). Stratifikasi yang mencolok itu menyebabkan kasta Brahmana memiliki peranan dan pengaruh paling besar dalam tata kehidupan masyarakat, termasuk kepada raja sekalipun. Kaum brahmana jugalah yang berhak membaca dan mempelajari kitab suci agama Hindu (Weda) serta yang mengatur upacara keagamaan. Oleh karena itu, kaum brahmana mendapat kedudukan yang tinggi di dalam setiap kerajaan Hindu (sebagai penasihat raja).

Perlu diingat bahwa pelaksanaan sistem kasta itu hanya berlaku pada saat agama dan kebudayaan Hindu baru masuk dan berkembang beberapa saat di Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman, sistem kasta itu hanya dijadikan ajaran dalam agama Hindu di Indonesia saat ini, tetapi tidak dilaksanakan secara mutlak. Setiap pemeluk agama Hindu mempunyai tugas dan hak yang sama dalam beribadah dan bermasyarakat.......

0 Response to "Masuk dan Berkembangnya Agama serta Kebudayaan Hindu–Buddha di Indonesia"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Klik salah satu Link di Bawah ini, untuk menutup BANNER ini...