Latest News

ASUHAN KEPERAWATAN PADA EPILEPSI

A.    Anatomi Fisiologi Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf sadar dan sistem saraf tak sadar (sistem saraf otonom). Sistem saraf sadar mengontrol aktivitas yang kerjanya diatur oleh otak, sedangkan saraf otonom mengontrol aktivitas yang tidak dapat diatur otak antara lain denyut jantung, gerak saluran pencernaan, dan sekresi keringat.
1.      Sistem Saraf Sadar
Sistem saraf sadar disusun oleh saraf otak (saraf kranial), yaitu saraf-saraf yang keluar dari otak, dan saraf sumsum tulang belakang, yaitu saraf-saraf yang keluar dari sumsum tulang belakang. Saraf otak ada 12 pasang yang terdiri dari:
a.       Tiga pasang saraf sensori, yaitu saraf nomor 1, 2, dan 8
b.      Lima pasang saraf motor, yaitu saraf nomor 3, 4, 6, 11, dan 12
c.       Empat pasang saraf gabungan sensori dan motor, yaitu saraf nomor 5, 7, 9, dan 10.
Saraf otak dikhususkan untuk daerah kepala dan leher, kecuali nervus vagus yang melewati leher ke bawah sampai daerah toraks dan rongga perut. Nervus vagus membentuk bagian saraf otonom. Oleh karena daerah jangkauannya sangat luas maka nervus vagus disebut saraf pengembara dan sekaligus merupakan saraf otak yang paling penting.
Saraf sumsum tulang belakang berjumlah 31 pasang saraf gabungan. Berdasarkan asalnya, saraf sumsum tulang belakang dibedakan atas 8 pasang saraf leher, 12 pasang saraf punggung, 5 pasang saraf pinggang, 5 pasang saraf pinggul, dan satu pasang saraf ekor.
Beberapa urat saraf bersatu membentuk jaringan urat saraf yang disebut pleksus. Ada 3 buah pleksus yaitu sebagai berikut :
a.       Pleksus cervicalis merupakan gabungan urat saraf leher yang mempengaruhi bagian leher, bahu, dan diafragma.
b.      Pleksus brachialis mempengaruhi bagian tangan. 
c.       Pleksus Jumbo sakralis yang mempengaruhi bagian pinggul dan kaki.
2.      Saraf Otonom
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak maupun dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan. Dalam sistem ini terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk sinapsis yang kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat pada pangkal ganglion disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada pada ujung ganglion disebut urat saraf post ganglion.
Sistem saraf otonom dapat dibagi atas sistem saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan parasimpatik terletak pada posisi ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak di sepanjang tulang belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga mempunyai urat pra ganglion pendek,sedangkan saraf parasimpatik mempunyai urat pra ganglion yangpanjang karena ganglion menempel pada organ yang dibantu.
Fungsi sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Sistem saraf parasimpatik terdiri dari keseluruhan "nervus vagus" bersama cabang-cabangnya ditambah dengan beberapa saraf otak lain dan saraf sumsum sambung.
Tabel Fungsi Saraf Otonom
Parasimpatik
Simpatik
  1. mengecilkan pupil
  2. menstimulasi aliran ludah
  3. memperlambat denyut jantung
  4. membesarkan bronkus
  5. menstimulasi sekresi kelenjar pencernaan
  6. mengerutkan kantung kemih
  1. memperbesar pupil
  2. menghambat aliran ludah
  3. mempercepat denyut jantung
  4. mengecilkan bronkus
  5. menghambat sekresi kelenjar pencernaan
  6. menghambat kontraksi kandung kemih

B.     Pengertian
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (anonim, 2008).
Epilepsi (kejang) adalah penyakit sereberal kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik di otak  yang berlebihan dan bersifat reversible. Bangkit kejang ini disebabkan karena adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau seluruh daerah yang ada dalam otak. Sekumpulan neuron yang bersifat iritatif pada otak disebut eptileptogenik

C.    Patofisiologi
Sampai saat ini patofisiologi epilepsi belum diketahui dengan jelas. Namun ada hipotensis yang menduga bahwa epilepsi disebabkan karena adanya sekelompok neuron yang secara intrinsic mempunyai kelainan pada membrannya dan bersifat iritatif. Pada keadaan normal sel saraf bekerja adanya depolarisasi dan repolarisasi secara terus menerus dan seimbang. Depolarisasi terjadi akibat perbedaan medan listrik yang dicetuskan oleh ketidak seimbangan elektrolit atau ion neuron yaitu sel glia. Jika sel glia rusak maka ion-ion seperti kalsium, tidak pada tempatnya. Hal ini yang kemudian menimbulkan perbedaan medan listrik dan berakibat pada terjadinya depolarisasi. Lontaran arus listrik yang terjadi juga tidak terlepas dari peran neurontransmiter, dimana ektitasi lebih besar dan inhibisi lebih kecil akson mulai merangsang, suatu potensial  aksi akan dikirimkan sepanjang akson untunk menghambat atau meningkatkan rangsangan pada neuron lain.
Pada tingkat membran sel neuron epilepsi  ditandai oleh fenomena biokimia tertentu diantaranya diantaranya adanya ketidakstabilan  membran sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun sehingga mudah teransang secara berturut-turut.mungkin terjadi polarisasi yang abnormal.
Perubahan-perubahan terjadi selama serangan dan segera setelah serangan kejang. Perubahan tersebut terjadi akibat meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Aktivitas listrik meningkat tajam. Aliran darah keotak meningkat, demikian juga dengan pernafasan dan glikolisis jaringan.
Secara patologi fenomena biokimia sel saraf yang menandai epilepsi yaitu:
1.    Ketidakstabilan membran sel saraf.
2.    Neuron hypersensitif dengan ambang menurun.
3.    Polarisasi abnormal.
4.    Ketidakseimbangan ion.


D.    Etiologi
Penyebab epilepsi terbagi menjadi 2 kelompok :
1.      Epilepsi idoipatik,yang penyebabnya tidak diketahui, terjadi pada 50% epilepsi pada anak. Kejang atau serangan mungkin timbul pada usia anak-anak menjelang dewasa.
  1. Epilepsi simtomatik yang penyebabnya sangat bervariasi, misalnya pada usia dibawah 6 bulan biasanya disebabkan karena kelainan intra –uterin (kelainan migrasi dan diferensiasi sel saraf), trauma lahir kelainan kongenital gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalemia,hipotermia),infeksi saraf pusat. Penyebab lain adalah karena kejang demam, trauma kepala, infeksi otak karena pembedahan, cedera kepala, tumor kepala.
Faktor pencetus epilepsi yang biasa terjadi adalah :
a.       Meningkatnya stres fisik dan emosi
b.      Meningkatnya aktivitas fisik
c.       Kelelahan
d.      Konsumsi alkohol dan kopi
e.       Terpapar makanan atau zat kimia

E.     Manifestasi Klinis dan Klasifikasi epilepsi (kejang)
Kejang diklasifikasikan berdasarkan pada kriteria klinik dan EEG. Ada dua kategiri yaitu : kejang umum ,kejang fokal atau parsial dan kejang yang tidak terklasifikasikan.
1.      Kejang umum adalah kejang yang menunjukan singkronisasi keterlibatan bagian otak pada kedua hermisfer. Yang termasuk dalam kejang umum adalah petit mall (absen), gran mall (tonik klonik), mioklonik dan atonik.
a.       Petit mall (absen)
Kejang petit mall biasanya muncul setelah usia 4 tahun. Pada kejang petit mall pasien mengalami kehilangan kesadaran sesaat (bengong) tanpa disertai gerak involunter yang aneh. Pasien kadang berhenti bicara saat melakukan percakapan atau diam saat bekerja dengan pikiran kosong dan kemudiian melanjutkan aktivitas kembali. Serangan ini terjadi secara tiba-tiba tanpa didahulukan oleh aura .saat setelah serangan pasien menyadari ia telah mengalami masalah. Biasanya terjadi pada anak-anak dan mungkin  menghilang waktu remaja atau berganti dengan serang  tonik kronik
b.         Gran Mall ( tonik-kronik)
Merupakan serangan kejang yang melibatkan ekstansi klonik tonik bilateral ekstermitas yang singkron. Biasanya serangan ini ditandai adanya aura seperti sensasi penglihatan atau pendengaran yang diikuti kehilangan kesadaran secara mendada. Pada saat serangan ditandai adanya kekuatan ekstermitas,lidah dapat tergigit, mulut berbusa, incontinensia urine dan alvi, kehilangan kesadaran yang mendadak.setelah serangan pasien mengalami nyeri otot,lemah dan letih, mengantuk dan tidur dalam jangka waktu lama, pasien biasanya lupa apa yang terjadi.
c.         Mioklonik
Serangan ini ditandai adanya kontraksi kelompok otot tertentusecara singkat dan tiba-tiba. Biasanya tidak ada kehilangan kesdaran selama seranagan.
d.        Atonik
Dahulu disebut akinetik, pasien mengalami kehilangan tanus tubuh dan kesadaran sangat singkat,sehingga pasien dapat jatuh secara tiba-tiba, lemas pada lutut.

2.         Kejang fokal atau parsial adalah kejang yang menunjukkan gambaran klinis tentang awitan  fokal dari sebagian atau satu hemisfer cerebral. Kejang pasial dibagi atas kejang pasial sederhan dan kejang pasial kompleks.
a.       Kejang pasial sederhan
Dahulu disebut epilepsi jakson, pasien sadar apa yang terjadi,tapi ia tidak mampu untuk mengendalikannya. Gejala kejang ini biasanya hanya sensori,motorik,automotik atau ketiganya tergantung dari area yang terkena.biasanya adanya gerakan klonik dari jari tanggan,kemudian menjalar kelengan bawah atau seluruh tubuh, gerakan kepala atau leher menengok ke satu sisi,adanya halusinasi.
b.      Kejang parsial kompleks
Pada kejang parsial komplek didapat adanya gangguan kesadaran,misalnya adanya gangguan kognitif, afektif, psikosensori dan psikomotor. Dahulu dikenal dengan kejang lobus temporal. Gejala kejang ini misalnya adanya disfasia, deja-vu,adanya halusinasi, otomatisme
  1. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.


F.     Komplikasi Epilepsi      
1.      Trauma muskuloskeletal
2.      Aspirasi
3.      Status epileptikus
4.      Hipoksia cerebral
5.      Kematian

G.    Pemeriksaan Diagnostik
  1. Computer Tonmografi (CT) Scan : adanya perubahan struktur otak.
  2. Magnetic ResoNance Imaging (MRI) : adanya perubahan struktur otak.
  3. Cerebral angiography : Kemungkinan abnormalitas vaskuler.
  4. Test urine untuk menentukan kadar obat.
  5. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
  1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
  1. Neuroimaging
    Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.



H.    Penatalaksanaan
Penatalaksanaan epilepsi dilakukan secara individual untuk memenuhi kebutuhan khusus masing-masing pasien dan tidak hanya untuk mengatasi tetapi juga mencegah kejang. Penatalaksanaan yang berbeda ini disebabkan karena bentuk epilepsy yang muncul akibat kerusakan otak dan juga bergantung pada perubahan kimia otak.
Penatalaksanaan pada penderita epilepsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu; penatalaksanaan primer dan penatalaksanaan sekunder. Penatalaksanaan primer epilepsi dilakukan dengan memberikan obat-obatan untuk mencegah serangan kejang atau untuk mengurangi frekuensinya sehingga klien dapat menjalani kehidupan normalnya. Obat yang diberikan disesuaikan dengan jenis serangannya dan biasanya menggunakan kombinasi obat-obatan dengan tujuan untuk mengurangi efek samping yang ditimbulkan. Namun saat ini dokter cenderung menggunakan satu jenis obat dengan sedapat mungkin mengurangi dosis obat yang diberikan.
Jenis obat yang sering digunakan pada pengobatan epilepsi adalah;
1.      Golongan Barbiturat, seperti Fenobarbital dan Pirimidon
2.      Golongan Hidantoin, seperti Fanitoin/Dilantin dan Mefenitoin
3.      Golongan Iminostilben, seperti Karbamazepin
4.      Golongan Benzodiazepin, seperti Diazepam dam Klonazepam
5.      Golongan Suksinimid, seperti Etosuksimid dan Metosuksimid
6.      Golongan Asam valproat/depakene.
Pengobatan epilepsy dapat juga dilakukan dengan pembedahan. Pembedahan ini diindikasikan bagi untuk pasien yang mengaalami epilepsi akibat tumor intrakranial, abses, kista, atau adanya anomali vaskuler.
Penatalaksanaan sekunder yang dapat dilakukan adalah dengan mempertahankan patensi jalan napas dan mencegah terjdinya cedera. Mempertahankan klien dalam posisi berbaring kesalah satu sisi dapat mengurangi kemungkinan aspirasi isi lambung dan saliva serta mencegah lidah jatuh kebelakang. Mencegah terjadinya cedera dilakukan dengan melindungi kepala saat terjadi serangan serta memindahkan benda-benda yang dapat membahayakan penderita. Selain itu penting dilakukan pendekatan secara holistik yang meliputi aspek psikologis penderita dan sikap keluarga, masyarakat terhadap penderita epilepsi.
Tujuan pengobatan adalah penyembuhan atau mengatasi gejala-gejala dan mengurangi efek samping pengobatan obat. Setiap obat epilepsi mempunyai efektifitas yang terbatas untuk mengatasi masalah epilepsi yang berbeda.sehingga apabila pilihan pilihan tidak tepat menimbulkan toksikasi.
Prinsip pengobatan farmakologis pasien dengan epilepsi  adalah :
a.       Tegakkan diagnosa dengan mengklasifikasikan jenis kejang
b.      Pilih obat pilihan utama sesuai dengan mengklasifikasikan jenis kejang.
c.       Tingkat kan dosis secara lambat sampai mencapai dosis terapi,tentukan efek samping.
d.      Jika respons buruk ganti dengan obat pengganti secara bertahan.
e.       Jika perbaikan hanya sebagian maka mungkin diperlukan obat lain.
f.       Atur dosis obat agar sesuai dengan kadar plasma.
g.      Jika tidak teratasi rujuk dokter ahli epilepsi

Jenis obat yang dipakai saat ini
Nama obat
Dosis dewasa
Dosis anak
Fenobartial (FB)
Difinilhidantoin (FH)
Karbamazepeni (Kz)
Asam valporat (AVP)
Etosuksimid (ETS)
1,5 – 3 mg/kg BB
4 mg / kg BB
1,5 – 8 mg / kg BB
-
-
1 – 5 mg / kg BB
4 – 12 mg / kg BB
15 – 25 mg / kg BB
10 – 70 mg / kg BB
10 – 70 m / kg BB

Jenis obat berdasarkan efektifitas jenis epilepsi
Jenis epilepsi
Obat yang efektif
Parsial / fokal
Grand mall
Petit mall (lena)
Mioklonik
Atonik
FB, FH, Kz
AVP, FB, FH
ETS, AVP
ETS, AVP
ETS, AVP


ASUHAN KEPERAWATAN PADA EPILEPSI

A.    Pengkajian
1.      Riwayat keperawatan
a.       Riwayat kesehatan
1)      Riwayat keluarga dengan kejang
2)      Riwayat kejang demam
3)      Tumor intracranial dan infeksi cerebral
4)      Trauma kepala terbuka, stroke
b.      Riwayat kejang
1)      Berapa sering terjadi kejang
2)      Gambaran kejang yang seperti apa
3)      Berapa lama kejang berlangsung
4)      Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal
5)      Apa yang dilakukan pasien setelah kejang
c.       Riwayat penggunaan obat
1)      Nama obat yang dipakai
2)      Dosis obat
3)      Berapa kali penggunaan obat
4)      Kapan putus obat
2.      Pemeriksaan fisik
a.       Tingkat kesadaran
b.      Adanya gerakan-gerakan automatisme, mengedip-edipkan mata
c.       Abnormal posisi mata
d.      Perubahan pupil
e.       Gerakan atau aktivitas motorik
f.       Tingkah laku setelah kejang
g.      Apnea
h.      Sianosis
i.        Saliva yang banyak
j.        Lidah tergigit
k.      Inkontinensi urin
3.      Psikososial
a.       Usia
b.      Jenis kelamin
c.       Pekerjaan
d.      Peran dalam keluarga
e.       Strategi koping yang digunakan
f.       Gaya hidup dan system dukungan yang ada
4.      Pengetahuan pasien dan keluarga
a.       Kondisi penyakit dan pengobatan
b.      Kondisi kronik
c.       Kemampuan belajar dan membaca
5.      Pemeriksaan diagnostic
a.       Laboratorium
1)      Darah lengkap
2)      Serum elektrolit
3)      Fungsi liver
4)      Urinalisa
b.      Radiologi
1)      Kelainan organic cerebral
2)      Identifikasi disfungsi area cerebral

B.     Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1.      Resiko Injuri berhubungan dengan aktivitas kejang.
a.       Data Pendukung.
1)      Riwayat kejang
2)      Aktivitas kejang
3)      Pengunaan obat anti kejang.
b.      Kriteria hasil.
1)      Pasien bebas dari kejang.
2)      Mempertahankan integritas fisik.
3)      Tidak terjadi trauma fisik.
4)      Tidak terjadi hipoksia dan aspirasi.

Rancana Keperawatan
Rasional
1.      Pertahankan posisi tempat tidur lebih rendah.

2.      Berikan pagar pengaman pada tempat tidur.

3.      Sebelum kejang lakukan ; spatel lidah, oksigen, suction dekat tempattidur.

4.      Monitor aktivitas kejang.

5.      Selama kejang ; pertahankan jalan nafas pasien, pasang spatel jika memungkinkan, longgarkan pakaian, jaga privasi klien.
6.      Catat frekwensi, waktu, bagian tubuh yang terjadi kejang.

7.      Setelah kejang ; pertahankan kepatenan jalan nafas, suction jika perlu, miringkan pasien, monitor TTV, status neurologi, berikan oksigen sesuai program, orientasikan pada lingkungan, berikan posisi nyaman, jaga kebersihan mulut.
8.      Laporkan kepada dokter jika kejang tanpa periode kesadaran.
1.      Meminimalkan resiko jika pasien jatuh.


2.      Mencegah pasien jatuh dari tempat tidur.


3.      Merespon dengan cepat jika pasien terjadi kejai kejat uha awatanpengetahuan  .
3.akut terulang kembali.
3.an penerimaan terhadap lingkungan.
3.ng.

4.      Mengetahui jenis epilepsy dan penaganan lebih lanjut.
5.      Mencegah hipoksia, aspirasi trauma kepala dan keselamatan pasien.

6.      Membantu mengidentifikasikan jenis kejang dan manifestasi yang terjadi.


7.      Mencegah hipoksia dan aspirasi, memonitor respons fisiologi setelah kejang dan memberikan rasa nyaman pasien.


8.      Penanganan lebih lanjut.


2.      Cemas berhubungan dengan terjadinya kejang, komplikasi kejang dan penerimaan terhadap lingkungan.
a.    Data pendukung.
1)     Pasien mengatakan sering kejang, takut terulang kembali.
2)     Ekspresi wajah sedih.
3)     Pasien gelisah.
4)     Meningkatnya denyutjantung, nadi, pernafasan.
5)     Tekanan darah menurun.
6)     Keluar keringat dingin.
7)     Pandangan pasien menyempit.
8)     Sulit tidur
9)     Lebih sensitive tanda-tanda emosi lainnya.
10) Gemetar / tremor.
b.      Kriteria hasil.
1)      Pasien dapat mengungkapakan kecemasan dan apa yang sedang dipikirkan.
2)      Pasien dapat meningkatkan koping yang efektif dalam menghadap epilepsi.

Rancana Keperawatan
Rasional
1.      Kaji status emosial secara terus menerus, penampilan dan tingkah laku untuk menetapkan reaksi terhadap diagnose.

2.      Beri kesempatan pasien untuk mendiskusikan secara terbuka tentang perasaan, sikap dan kepercayaan pasien.

3.      Validasi tentang kecemasan pasien dan identifikasi metode koping yang tepat bagi pasien.

4.      Lakukan intervensi khusus, sesuai dengan masalah yang dihadapi klien, berikan respons yang positif terhadap pasien.
1.      Mengidentifikasi respons emosional pasien.



2.      Membuka diri dan meningkatkan kepercayaan kepada perawat.



3.      Membantu mengidentifikasi kecemasannya sendiri dan mulai memecahkan masalah.

4.      Membantu menurunkan masalah pasien dan adaptasi pasien.

3.      Kurangnya pengetahuan sehubungan pertama kali terdiagnosa epilepsy, seringnya aktivitas kejang dan status perkembangan usia.
a.    Data Pendukung.
1)      Pasien menanyakan tentang epilepsy.
2)      Pasien menolak tindakan perawatan.
3)      Pasien tidak koperatif dalam perawatan.
b.      Kriteria hasil.
1)      Pasien mendiskusikan factor yang dapat menimbulkan kejang.
2)      Pasien mengungkapkan secara verbal pengetahuan tentang pengobatan.
3)      Mengungkapkan secara verbal perubahan gaya hidup untuk menghindari factor pencetus kejang.

Rancana Keperawatan
Rasional
1.      Tetapkan pengetahuan pasien, keluarga tentang epilepsy, tingkat penerimaan.

2.      Berikan penjelasan tentang epilepsi, obat, efek samping.

3.      Informasikan factor pencetus epilepsy, dan aktivitas hidup.

4.      Diskusikan dengan pasien dan keluarga tentang perubahan gaya hidup seperti jenis pekerjaan
1.      Menetapkan tingkat pengetahuan dan penerimaan pasien / keluarga.

2.      Meningkatkan pengetahuan pasien.



3.      Mencegah serangan kejang.


4.      Mencegah serangan kejang.



0 Response to "ASUHAN KEPERAWATAN PADA EPILEPSI"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Klik salah satu Link di Bawah ini, untuk menutup BANNER ini...