Latest News

penatalaksanaan kegawatan epistaksis (mimisan)

A. Pengertian Epistaksis
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung bagian anterior cavum hidung dan posterior dari dinding turbinate atau hidung bagian lateral (Krisanty, 2009).
Epistaksis atau perdarahan dari rongga hidung sering dijumpai dan sebagian besar akan berhenti spontan atau oleh tindakan tindakan sederhana seperti penekanan hidung. Meskipun demikian ada pula kasus besar yang memerlukan pertolongan segera agar tidak berakibat fatal (Purwandianto, 2001).
Epistaksis adalah perdarahan dari saluran nasal anterior atau posterior sering dijumpai pada bagian gawat darurat (Knighton, 2003)
Sehingga dapat ditarik kesimpilan bahwa epistaksis merupakan perdarahan yang terjadi dalam rongga hidung pada bagian anterior, posterior dan dinding turbinate yang sering dijumpai pada kasus gawat darurat.

B. Etiologi Epistaksis
1. Sebab lokal
a. Trauma : Perdarahan hidung dapat terjadi setelah trauma ringan, misalnya mengeluarkan ingus secara tiba-tiba dan kuat, mengorek hidung, dan trauma yang hebat seperti terpukul, jatuh atau kecelakaan. Selain itu juga dapat disebabkan oleh iritasi gas yang merangsang, benda asing di hidung dan trauma pada pembedahan.
b. Infeksi : Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau sinusitis juga dapat menyebabkan perdarahan hidung.
c. Neoplasma : Hemangioma dan karsinoma adalah yang paling sering menimbulkan gejala epitaksis.
d. Kongenital : Penyakit turunan yang dapat menyebabkan epitaksis adalah telengiaktasis hemoragik herediter.
2. Sebab sistemik
a. Penyakit kardiovaskular : Hipertensi dan kelainan pada pembuluh darah di hidung seperti arteriosklerosis, sirosis, sifilis dan penyakit gula dapat menyebabkan terjadinya epitaksis karena pecahnya pembuluh darah.
b. Kelainan Darah : Trombositopenia, hemophilia, dan leukemia
c. Infeksi sistemik : demam berdarah, demam tifoid, influenza dan sakit morbili
d. Perubahan tekanan atmosfer : caisson disease (pada penyelam)
e. Endokrin : menarche, kehamilan, menopause

C. Jenis – Jenis Epistaksis
Ada terdapat jenis epistaksis berdasarkan letak dan bentuk perdarahannya :
1. Epistaksis Anterior
Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Bagian dalam hidung dilapisi oleh mukosa yang tipis dan mengandung banyak pembuluh darah (Kiesselbach plexus) yang fungsinya menghangatkan dan melembabkan udara yang dihirup. Pembuluh-pembuluh ini amat peka terhadap pengaruh pengaruh dari luar, selain karena letaknya di permukaan juga karena hidung merupakan bagian wajah yang paling menonjol. Sehingga perubahan cuaca (panas, kering), tekanan udara (di daerah tinggi), teriritasi gas/zat kimia yang merangsang, pemakaian obat untuk mencegah pembekuan darah atau hanya sekedar terbentur (pukulan), gesekan, garukan, iritasi hidung karena pilek/allergi atau kemasukan benda asing dapat menimbulkan mimisan. Jenis mimisan yang anterior biasanya lebih mudah diatasi dengan pertolongan pertama di rumah (Purwandianto, 2001).
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior Sumber perdarahannya berasal dari rongga hidung bagian belakang atau nasopharing. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang arteri sfenopalatina dan atau arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior biasanya lebih berat dan biasanya merupakan indikasi adanya suatu penyakit serius seperti demam berdarah, tekanan darah tinggi, tumor ganas (kanker) pada rongga hidung atau nasopharing, kanker darah (leukemia), penyakit kardiovaskuler, hemofilia (kelainan darah) dan lain-lain (Purwandianto, 2001).

D. Patofisiologi Epistaksis

Rongga hidung manusia banyak dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina.
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris (maksila=rahang atas) interna yaitu arteri palatina (palatina=langit-langit) mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari arteri fasialis (fasial=muka). Bagian depan septum terdapat anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleksus kiesselbach (little’s area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang masuk ke tenggorokan. Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang arteri sfenopalatina dan atau arteri etmoidalis posterior, sering terdapat pada usia lanjut akibat hipertensi atau aterosklerosis.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat jarang berhenti spontan.

E. Komplikasi Epistaksis
Sebagai akibat dari perdarahan yang berlebihan, dapat terjadi syok atau anemia, turunnya tekanan darah yang mendadak dapat menimbulkan infark serebri, insufisiensi koroner, atau infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian. Kematian akibat pendarahan hidung adalah sesuatu yang jarang. Namun, jika disebabkan kerusakan pada arteri maksillaris dapat mengakibatkan pendarahan hebat melalui hidung dan sulit untuk disembuhkan. Komplikasi yang dapat timbul:
1. Sinusitis
2. Septal hematom (bekuan darah pada sekat hidung)
3. Deformitas (kelainan bentuk) hidung
4. Aspirasi (masuknya cairan ke saluran napas bawah)
5. Kerusakan jaringan hidung infeksi

F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. EKG (elektrokardiogram) : pada pemeriksaan pasien dengan penyakit yang jelas lakukan pemantauan kotinu dengan monitor jantung.
2. AGD (Analisa Gas Darah) : menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.
3. Pemeriksaan darah lengkap : mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan dan dapat mengindikasikan factor-faktor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia, dan lain-lain.
4. CT scan dan MRI : dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan neoplasma

G. Penatalaksanaan Epistaksis
Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC.
Airway : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk menunduk
Breathing : pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan
darah yang mengalir ke belakang tenggorokan
Circulation : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh,
pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan sirkulasi posisikan pasien dengan duduk menunduk untuk mencegah darah menumpuk di daerah faring posterior sehingga mencegah penyumbatan jalan napas.

Pada perdarahan bagian anterior klien dianjurkan untuk menekan bagian yang lembut dari hidung (cuping hidung) dengan ibu jari selama 5-10 menit.
Jika masih terjadi perdarahan terus menerus pada bagian posterior hidung masukkan tampon yang diteteskan dengan obat phenylepkrine hidroclorida sehingga terjadi vasokonstriksi.

1. Epitaksis anterior
Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan aktif, namun mempunyai riwayat epitaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir. Biasanya berupa serangan epitaksisi ringan yang berulang beberapa kali, namunserangan terakhir mungkin menyebabkan pasien menjadi takut, sehingga ia mencari pertolongan.
Pemeriksaan hidung pada keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluh-pembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan sedikit bekuan darah. Pembuluh tersebut dapat dikaterisasi secara kimia atau listrik. Pengguan anestetik topikal dan agen vasokonstritor, misalnya larutan kokain 4 persen atau Xi-lokain dengan epinefrin selanjutnya lakukan terisasi, misalnya dengan larutan asam triklorosetat 50 persen pada pembuluh tersebut. Jika pembuluh menonjol pada kedua sisi septum, diusahakn agar tidak mengkauter daerah yang sama pada kedua sisi. Sekalipun menggunakan zat kauterisasi denagh penetrasi rendah, namun daerah permukaan yan g dicakup kauterisasi harus dibatasi.
Pasie dengan perdarah aktif lewat bagian depan hidung harus duduk tegak, menggunakan apron plaastik serta memegangang suatu wadah berbentuk ginjal untuk melindungi pakaiannya. Gulungan kapas yang telah dibasahi dengan larutan kokain 4 persen dimasukan dengan hati-hati kedalam hidung. Dengan kaca kepala dipasang, dokter memegang spekulum hidung dengan satu tangan, sedang tangan yang lain memegang penghisap untuk mengaspirasi darah yang berlebihan. Setelah sumber perdarahan diketahui, kauterisasi dapat dicoba bila mana pembuluh tersebut kecil sebaliknya jika besar, pasang tampon hidung anterior unilateral, atu bilateral pada wajah bila mana mungkin pada kasus perdarah hebat atau sumber perdarah yang sulit dikenali. Menentukan lokasi perdarahan mungkin semakin sulit pada pasien dengan deviasin septum yang nyata atau perforasi septum. Tampon mudah dibuat dari lembaran kasa steril bervaselin, berukuran 72x ½ inci disusun dari dasar hingga atap hidung dan meluas hingga keseluruh panjang rongga hidung. Antibiotik profilaktik dianjurkan oleh beberapa dokter karena ostia sinus menjadi tersumbat oleh tampon, dan adanya benda asing (tampon) serta bekuah darah, yang menyediakan suatu lingkungan untuk pertumbuhan bakteri. Selain itu, sebagian dokter juga melapisi tampon dengan krim atau salep antibiotik untuk mengurangi petumbuhan bakteri dan pembentukan bau. Balon hidung dengan beberapa desain yang berbeda kini tersedian dan dapat mengganti tampon hidung. Demikiaan juga, tampon hidung yang dapat mengembang bila ditempatkan dalam hidung, dapat menjadi pengganti tampon hidung tradisional.

2. Epitaksis poterior aktif
a. Blok ganglion sfenopalatinum.
Pada kasus Epitaksis posterior dicurigai bila sebagian besar perdarahan terjadi kedalam faring, suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau nyata dari pemeriksaan hidung bahwa pedarahan terletak posterior dan superior. Situasi ini sering terjadi pada orang tua yang mungkin telah mengalami arteriorsklorosis, namun dapatterjadi pada setiap individu setelah trauma hidung yang berat. Pada kasus epitaksis posterior, beberpa ahli menganjurkan blok sfenopalatinum yang dapat bersifat diagnostik dan terapeutik. Injeksi 0,5 ml Xilokain 1 persen dengan efinefrin 1:100.000 secara berhati-hati kedalam kanalis palatina mayor akan menyebabkan vasokontriksi arteri sfenopalatina. Disamping vasokontriksi, injeksi ini juga menimbulkan anastesia untuk prosedur pemasangan tampon hidung posterior. Bila perdarahan berasal dari cabang arteri sfenopalatina, maka epitaksis akan segera berkurang dalam beberapa menit. Berkurangnyaperdarahan ini hanya berlangsung singkat hingga Xilokain diabsorpsi. Gliserin (USP 2 persen ) dan Xilokain (2 persen) dapat digunakan untuk efek yang lebih lama. Jika injeksi tidak memberi efek, maka perdarahan mungkin berasal dari arteri etmoidalis anterior dan posterior. Karena kemungkinan komplikasi okular, metode ini lebih baik dilakukan oleh spesialis.

b. Tampon hidung posterior
Suatu tampon posterior yang dimasukan melalui mulutdapat ditarik memakai kateter melalui hidung ke dalam koana posterior. Suatu spons berikuran 4x4 inci yang digulung aerat dan diikat denga benang sutra no. 1 merupakan tampon yang baik. Dapat diolesi dengan salep antibiotik topikal untuk mengurangi insiden infeksi. Tamponade dengan berbagai balon hidung komersial yang dimasukan lewat depan dan kemudian ditiup, dapat pula dilakukan. Beberapa pabrik membuat balon dengan dua ruang terpisah; yang satu berfungsi sebagai tampon anterior, yang satunya sebagai tampon posterior. Jika suatu balon ditempatkan baik di anterior ataupun di posterior, maka balon harus diisi dengan larutan salin, dan bukan udara, karena udara dapat bocor dan tamponade menjadi gagal. Suatu kateter foley no.14 bisa dengan suatu kantung 15 cc juga dapat dimasukkan transnasal, dikembangkan dan ditarik rapat pada koana posterior. Posisi kateter dapat dipertahankan dengan suatu klem umbilikus.

c. Ligasi pembuluh spesifik
Bila tampon posterior dan anterior gagal mengendalikan epitaksis, maka perlu dilakukan ligasi arteri spesifik. Arteri tersebut antara lain arteri karotis eksterna, arteri maksilaris eksternadengan cabang terminusnya, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior dan anterior.

d. Ligasi arteri karotis eksterna.
Karena banyaknya anastomosis, ligasi arteri karotis aksterna tidak selalu dapat menghentikan epitaksis. Namun, bila mana perlu metode ini dapat dilakukan pada semua pasien oleh dokteryang trampil dalam pembedahan leher dan kepala. Insisi dilakukan melintang atau memanjang sepanjang batas anterior otot sternokleidomastoideus. Dengan diseksi yang hati-hati dapat dikenali selubung karotis, vena jugularis dan saraf vagus. Diseksi lebih lanjut memungkinkan visualisasi bulbus karotis. Arteri karotis interna dan eksterna harus dikenali secara khusus. Meskipun dinamakan arteri karotis eksterna, namun pada leher sebernarnya arteri ini terletak di medial arteri karotis interna. Ligalis dilakukan dengan suatu ikatan memakai benang sutera diatas percabangan arteri ligualis. Hilangnya denyut temporalis harus diperiksa dua kali sebelum ligasi dieratkan. Luka dapat ditutup dalam beberapa lapis, dan drain dipasang selama 24 jam.

e. Ligasi arteri maksilaris interna.
Ligasi arteri maksilaris interna umumnya dilakukan oleh mereka yang ahli dalam teknik bedah dan anatomis sehingga dapat mencapai fosa pterigomaksilaris. Prosedur ini dapat dilakukan dengan anastesia lokal atatu umum. Sebelunya prosedur dilakukan perlu dibuat radiogram sinus paranasalis. Pada mukosa gusi pipi bagian atas dibuat insisi caldewell mulai dari garis tengah hingga daerah gigimolar atas kedue. Mukoperiosteum diangkat dari dinding anterior sinus maksilaris, sinus maksilaris dimasuki dan sisa dinding anterior diangkat sambil menjaga saraf infraorbitalis. Dinding sinus posterior yang bertulang kemudian diangkat dengan berhati-hati dan lubang kedalam fosa pterigomaksilaris diperbesar. Bila lubang sudah cukup besar, gunakan mikroskop operasi untuk diseksi lebih lanjut. Pembuluh darah diindefikasi dan klip logam dipasang pada arteri maksilaris interna, sfenopalatina dan palatina desendens. Luka ditutup dan tampon hidung posterior diangkat. Suatu tampon hidung anterior yang lebih kecil mungkin masih diperlukan. Jika terdapat bukti-bukti infeksi atau bila ditakuti terjadi infeksi, dapat dibuat suatu fenestra antrum hidung saat melakukan prosedur. Kateterisasi selektif dengan embolisasi cabang-cabang arteri karotis eksterna merupakan cara pendekatan lain yang juga mencapai tujuan sama seperti ligasi.

f. Ligasi arteri etmoidalis anterior
Perdarahan dari cabang – cabang terminus arteri oftalmika terkadang memerlukan ligasi arteri etmoidalis anterior. Pembuluh ini di capai melalui suatu insisi melengkung memangjang pada hidung di antara dorsum dan daerah kantus media. Insisi langsung diteruskan ketulang,di mana periosteum di angkat dengan hati-hati dan ligamentum kantus media di kenali. Arteri etmoidalis anterior selalu terletak pada sutura pemisah tulang prontal dengan tulang etmoidalis. Pembuluh ini di jepit dengan suatu klip hemostatik atau suatu ligasi tunggal. Karna terletak dekat dengan saraf optikus,maka pembuluh etmoidalis harus di capai dengan retraksi bola mata yang sangat hati-hati.

H. Asuhan keperawatan epistaksis
1. Pengkajian primer
Pengkajian harus cepat tepat untuk mengidentifikasikan masalah actual atau resiko tinggi untuk mempertahankan anggota tubuh dan kehidupan
a. Airway
Apabila pasien tak memberikan respon kaji ada tidaknya sumbatan jalan nafas baik sumbatan jalan nafas total maupun partial, dimana sumbatan jalan nafas total apabila tidak segera diatasi dalam waktu 5 sampai 10 menit dapat terjadi henti nafas, henti jantung. Obstruksi jalan nafas partial apabila tidak segera diatasi dapat terjadi oedem otak, paru, dan henti nafas yang diikuti henti jantung.

b. Breathing
Kaji dengan cara melihat (look), mendengar (listen), merasakan (feel). Memastikan pasien bernafas atau tidak, bila bernafas, pastikan bernafas dengan adekuat atau tidak, yaitu :
1) Frekuensi pernafasan
2) Trauma pernafasan
3) Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
4) Ada tidaknya penggunaan otot-otot bantu nafas dan retraksi intercostal, retraksi clavicular.

c. Circulation
Kaji sirkulasi peredaran kardiovaskuler klien dengan :
1) Denyut nadi yaitu :
a) Iramanya
b) Kuat lemahnya
c) Jumlah (tachicardi, bradichardi)
d) Ada atau tidaknya denyut nadi
2) Tanda-tanda perdarahan internal dan eksternal
3) Tekanan darah
4) Pengisian kapiler
5) Warna kulit, kelembaban kulit

2. Pengkajian sekunder
a. Biodata : nama, umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan.
b. Riwayat Penyakit sekarang
c. Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh sulit bernafas, tenggorokan.
d. Riwayat penyakit dahulu :
1) Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
2) Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
e. Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
f. Riwayat psikososial :
1) Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas / sedih)
2) Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
g. Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat : Untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping
2) Pola nutrisi dan metabolisme : Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung
3) Pola istirahat dan tidur : Selama indikasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek
4) Pola Persepsi dan konsep diri : Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep diri menurun
5) Pola sensorik : Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen, serous, mukopurulen).
h. Pemeriksaan fisik
1) Status kesehatan umum : keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
2) Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).
3) Pemeriksaan fisik secara menyeluruh

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul dalam kegawatan epistaksis adalah :
a. PK : Perdarahan
b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan sekunder akibat : epistaksis
c. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflex spasme otot sekunder akibat : epsitaksis
d. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis actual atau yang dirasa sekunder akibat : penyakit

4. Intervensi Keperawatan
a. PK : Perdarahan
Tujuan : Meminimalkan perdarahan
Kriteria : Tidak terjadi perdarahan, tanda vital normal, tidak anemis
6) Intervensi keperawatan
a) Monitor keadaan umum pasien
b) Monitor tanda vital
c) Monitor jumlah perdarahan psien
d) Awasi jika terjadi anemia
e) Kolaborasi dengan dokter mengenai masalah yang terjadi dengan perdarahan : pemberian transfusi, medikasi

b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan sekunder akibat : epistaksis
Tujuan : Bersihan jalan nafas menjadi efektif
Kriteria : Frekuensi nafas normal, tidak ada suara nafas tambahan, tidak
menggunakan otot pernafasan tambahan, tidak terjadi dispnoe dan sianosis.
1) Intervensi keperawatan :
a) Kaji bunyi atau kedalaman pernapasan dan gerakan dada.
b) Catat kemampuan mengeluarkan mukosa / batuk efektif
c) Berikan posisi fowler atau semi fowler tinggi
d) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea
e) Pertahankan masuknya cairan sedikitnya sebanyak 250 ml / hari kecuali kontraindikasi
f) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat sesuai dengan indikasi : mukolitik, ekspektoran, bronkodilator.

c. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflex spasme otot sekunder akibat : epsitaksis
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil : Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan berkurang atau hilang,
Klien tidak menyeringai kesakitan
1) Intervensi keperawatan
a) Kaji tingkat nyeri klien
b) Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya
c) Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi
d) Observasi tanda tanda vital dan keluhan klien
e) Kolaborasi dngan tim medis dalam pemberian terapi konservatif : obat Acetaminopen; Aspirin, dekongestan hidung

d. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis actual atau yang dirasa sekunder akibat : penyakit
Tujuan : Ansietas klien berkurang / hilang
Kriteria : Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya,
Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya.
1) Intervensi keperawatan
a) Kaji tingkat kecemasan klien
b) Berikan kenyamanan dan ketentraman pada klien : Temani klien, Perlihatkan rasa empati (datang dengan menyentuh klien)
c) Berikan penjelasan serta informasi pada klien dan keluarga tentang penyakit yang dideritanya dengan perlahan, tenang serta gunakan kalimat yang jelas, singkat mudah dimengerti.
d) Singkirkan stimulasi yang berlebihan misalnya : tempatkan klien diruangan yang lebih tenang, batasi kontak dengan orang lain / klien lain yang kemungkinan mengalami kecemasan.

0 Response to "penatalaksanaan kegawatan epistaksis (mimisan)"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Klik salah satu Link di Bawah ini, untuk menutup BANNER ini...