Latest News

Lukisan Kaca Nagasepaha Tumbuhnya Generasi Baru dalam Ranah Kontekstual


Ketika Jro Dalang Diah menanamkan benih bagi tumbuhnya lukisan wayang kaca di Desa Nagasepaha, Buleleng, sekitar tahun 1927, banyak orang tak memedulikannya. Setelah benih itu berkembang lalu menarik perhatian pakar seni-budaya dunia, sejumlah pihak di Buleleng bahkan Bali seakan tak pernah menghiraukannya, apalagi merasa memilikinya. Padahal sejumlah pakar seni-budaya menilai Desa Nagasepaha adalah salah satu kekayaan besar bagi Indonesia, karena pusat kehidupan pelukis kaca di Nusantara sudah tidak banyak lagi. Lalu apa upaya yang dilakukan oleh pemda dan masyarakat setempat dalam melestarikan seni yang semakin langka ini?

Beberapa bulan lalu, lukisan kaca Nagasepaha hadir dalam pameran nasional di Jakarta. Pameran itu mendapat sambutan positif. Padahal pelukisnya sendiri di rumahnya di Nagasepaha terengahengah kekurangan alat dan bahan melukis. Namun mereka tetap berkarya, sambil meraba-raba pasar, sembari menerka-nerka kapan kiranya nasib sebagai seniman sejahtera bisa mendekati mereka.

Hardiman, perupa dari Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) yang punya perhatian besar terhadap lukisan wayang kaca di Nagasepaha, mengatakan perubahan adalah suatu kondisi baru yang disadari atau tidak, telah terkonstruksi secara sosial melalui proses yang relatif panjang. Dan sebagai tempat awal tumbuhnya lukisan wayang kaca, Desa Nagasepaha termasuk desa yang dengan gampang mengakomodasi berbagai perubahan dalam berbagai cipta dan gubah karya seni.

Lukisan kaca di desa tersebut termasuk yang mengalami perubahan cukup besar. Perubahan terjadi pada tataran konsep dan visualisasinya. Semua ini terefleksikan dalam pilihan tema dan gaya lukisannya. Pilihan tema misalnya, selain yang secara tradisi terus berulang membuat lukisan bertema Ramayana, Sutasoma, Mahabaratha, dan Arjunawiwaha. Juga kini muncul tema legenda, kehidupan sehari-hari, bahkan tema sosial-politik. Perubahan ini dimungkinkan karena para pelukis kaca Nagasepaha, seperti umumnya seniman dari belahan Bali Utara amat gampang menyerap pengaruh luar melalui proses akulturasi dan interpretasi.
Di samping itu, beberapa pelukis kaca Nagasepaha memiliki kemampuan merespon persoalan kontekstual yang sedang terjadi. Selain tema yang berubah, juga gaya lukisan kaca Nagasepaha mengalami beberapa perubahan. Dalam hal gaya, lukisan kaca Nagasepaha memiliki beberapa gaya pelukisan.

Pertama, tentu saja gaya dekoratif. Gaya ini dibangun melalui penggambaran bentuk wayang yang mengikuti norma penggambaran bentuk wayang klasik Bali gaya kemasan Klungkung, yaitu penggambaran wajah wayang yang menampakkan tigaperempat bagian, posisi badan dan posisi kaki menampakkan pandangan dari depan. Hal ini selalu berlaku untuk penggambaran tokoh-tokoh utama lukisan wayang seperti Arjuna, Bima, Rama, dan sebagainya. Namun, Hardiman melihat penggambaran Punakawan tidak mengikuti norma tersebut. Para Punakawan justru digambarkan posisi wajah nampak menyamping dan amat profil. Hal ini mengingatkan pada penggambaran dalam wayang kulit Bali dan Jawa.

Kedua, gaya naturalistik. Gaya ini hanya nampak pada penggambaran setting latar belakang dan latar depan saja. Sementara itu, pokok lukisan, yakni wayang, tetap dilukiskan dengan gaya dekoratif. Gaya pada latar belakang yang naturalistik ini muncul kira-kira pada pertengahan tahun 1960-an. Lahirnya gaya ini mulanya atas permintaan seorang kolektor dari Denpasar yang menghendaki penerapan gaya naturalistik berupa pemandangan pedesaan yang dimintanya disandingkan dengan lukisan wayang yang dekoratif. Gaya ini kemudian mendapat tempat tersendiri pada beberapa kolektor lainnya. Hal ini ditandai dengan munculnya pesanan baru lukisan kaca dengan setting suasana pesawahan dan air terjun.

Ketiga, gaya dekorasi pada latar setting. Gaya ini diinjeksikan melalui sebuah penelitian tindakan yang dilakukan oleh sejumlah staf pengajar Jurusan Seni Rupa IKIP Negeri Singaraja (kini Undiksha) pada tahun 1995. Menurut para peneliti di jurusan tersebut, hal ini dilakukan karena bertimbang pada kondisi lukisan wayang kaca dengan latar naturalistik, secara estetik tidak memiliki kesatuan gaya. Yang tentu saja menimbulkan ketidakutuhan artistik, di mana berbagai bagian tidak melahirkan hubungan yang selaras dan tidak memiliki makna.

Jadi, Hardiman menyimpulkan, jika harus diurut berdasarkan periodisasi, maka di Nagasepaha telah terjadi tiga gaya.
Pertama, periode awal dengan gaya dekoratif yang sepenuhnya terdapat pada pokok lukisan (wayang) dengan latar belakang hanya berupa sapuan datar dengan menempatkan warna sebagai warna, dan bukan wakil situasi waktu.
Periode kedua dimulai tahun 1960-an dengan gaya naturalistik pada latar belakang dengan pokok lukisan yang tetap bergaya dekoratif. Periode ketiga, gaya dekoratif pada setting (latar belakang dan latar depan) dengan pokok lukisan yang juga dekoratif. gaya ini dimulai sejak tahun 1995.
Ketiga gaya ini, kini masingmasing bisa saling bermunculan kembali sesuai dengan pesanan yang datang dari kolektornya, atau sesuai dengan keinginan si senimannya sendiri. Dengan kata lain, satu gaya tidak menghilangkan atau menghentikan gaya sebelumnya.

Source : balipost.com

1 Response to "Lukisan Kaca Nagasepaha Tumbuhnya Generasi Baru dalam Ranah Kontekstual"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Klik salah satu Link di Bawah ini, untuk menutup BANNER ini...