Latest News

Perkembangan sastra di Indonesia Pada Masa Penjajahan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang sifat sastra sangat berbeda dengan sifat sastra di masa damai. Sastra pada umumnya berisi:....
a. Crita dan sajak-sajak di tengah-tengah suatu perang yang dahsyat,
b. Mengandung usaha menimbulkan semangat serta menyebarkan patriotisme atau menganjurkan semangat bekerja,
c. Para pujangga tua meminta pada pujangga muda supaya menginsafi arti karya mereka bagi masyarakat, sehingga dapat memberikan kepada masyarakat suatu pegangan hidup.
d. Menjauhkan hasil sastra yang menimbulkan keragu-raguan dan kebimbangan, sehingga tidak meracuni masyarakat.
e. Membangkitkan jiwa nasionalisme Indonesia dengan mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia itu sejajar dengan nasionalisme Asia.

Jiwa muda yang tadinya sedia menerima pikiran-pikiran cita-cita yang kelihatannya bagus dan indah, untuk beberapa lama hanyut dalam kekaguman semboyan-semboyan “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” dan sebagainya, yang ternyata hanya merupakan balon-balon yang indah berisi angin. Pemerintah pendudukan Jepang menganjurkan karya sastra harus ditujukan ke arah usaha memenangkan “Perang Asia Tmur Raya”. Sehingga dalam publikasi pemerintah ditampilkan karya-karya sastra pengganti pengaruh Barat. Dalam situasi yang demikian itu lahir juga karya-karya sastra yang bersemangat sesuai dengan cita-cita perjuangan rakyat Indonesia. Langkah pemerintah pendudukan Jepang untuk mengarahkan agar supaya karya-karya seniman (seperti roman, sajak, lagu, lukisan, sandiwara dan film) itu jangan menyimpang dari tujuan Jepang adalah :
a. Didirikan sebuah Pusat Kebudayaan pada tanggal 1 April 2603 (1943) di Jakarta yang diberi nama bahasa Jepang, Keimin Bunka Shidosho.
b. Penyiaran hasil karya Pujangga Baru, begitu mereka tiba di Indonesia, segera dihentikan oleh pihak Jepang.
c. Di dalam Keimin Bunka Shidosho sastrawan dapat diawasi kegiatankegiatan mereka oleh Jepang, karena baik Keimin Bunda Shidosho maupun Jawa Shinbunkai tidak mengizinkan para pengarang atau sastrawan mengeluarkan isi hatinya dalam bentuk karangan atau cerita kecuali bila mendukung politik pemerintah pendudukan Jepang. Seorang sarjana Belanda mengatakan tentang berdirinya Keimin Bunka Shidosho itu demikian : “Badan Pusat Kebudayaan ini membuktikan betapa sempurnanya Jepang dalam usahanya untuk menghapuskan kemungkinan-kemungkinan bagi tiap pernyataan berterang-terang perihal kebudayaan”.

Dalam penjelasannya pada waktu peresmian berdirinya Keimin Bunka Shidosho disebutkan bahwa badan ini bertugas memimpin dan menilik budaya umum untuk meningkatkan derajat (mutu) budaya rakyat asli. Akan tetapi semua itu tidak lepas dari kepentingan Jepang, karena disebutkan bahwa maksud dan tujuan utama dari badan ini, ialah menamakan dan menyebarkan Keimin Bunka Shidosho mempunyai bagian-bagian, antara lain bagian musik, bagian sandiwara, bagian seni-tari dan bagan seni lukis.

Beberapa karya sastra yang mendukung politik Tiga A diantaranya : Tjinta Tanah Sutji karangan Nur Sutan Iskandar, Palawidja karangan Karim Halim; Angin Fudji karangan Usmar Ismail, adalah karya sastra yang sejalan dengan propaganda Jepang untuk menggelorakan semangat berjuang dan berkorban untuk kepentingan “Asia Timur Raya”.

Adapun karya sastra yang bertentangan dengan kepentingan Jepang tidak boleh diterbit dan beredar, bahkan kalau diketahui penciptanya ia harus berhadapan dengan Kempetai. Sebagai contoh adalah sajak Chairiul Anwar yang berjudul Siap Sedia yang menyebabkan pengarangnya harus berada dalam tahanan. Sajak yang berjudul Siap Sedia tersebut mengajak kawan-kawan untuk bangkit dengan kesadaran dan mengayunkan pedang untuk menuju dunia baru. Tentu saja yang dimaksudkan adalah semangat bangsa Indonesia, isinya antara lain ia berseru:

Kawan,kawan
Dan kita bangkit dengan kesadaran
Mencucuk dan menyerang berulang
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke Dunia Terang

Dengan sajak itu pemerintah pendudukan Jepang menuduh pengarang menganjurkan pemberontakan terhadap Jepang. Gubahan-gubahan untuk senidrama, seperti, Usmar Ismail dalam drama “Api” dan Tjitra”, yang mengambil tema kecintaan dan pengabdian kepada tanah air serta karya El Hakim (dr. Abu Hanifah) yang menciptakan “Taufan di Atas Asia”, “Intelek Istimewa”, “Dewi Rini” adalah pedang bermata dua yang penuh arti bagi bangsa Indonesia. Karena sensor yang ketat dari Jepang, maka pengarang-pengarang itu mencari kata-kata, susunan kalimat, sindiran yang samar-samar untuk menembus tembokdinding sensor.

Selama pendudukan Jepang, hanya sandiwara satu-satunya tontonan, karena film luar negeri dilarang oleh Jepang. Maka sandiwara diberi kesempatan dan mendapat fasilitas serta kebebasan bergerak relatif walaupun masih tetap dalam rangka propaganda Jepang. Sandiwara sekaligus berfungsi, baik sebagai penerangan maupun sebagai hiburan untuk rakyat, misalnya sandiwara “Bintang Surabaja”, “Tjahaja Tmur”, “Warnasari”, “Miss Tjitjih”, dan lain-lain. Sebelum Perang Pasifik, boleh dikatakan sandiwara hampir tidak ada. Banyak dari kalangan generasi muda menceburkan diri ke dunia sandiwara atau menjadi pengarang. Artis-artis Jepang juga ikut terjun seeperti yang dilakukan dengan Persatuan Artis Film Indonesia (Persafi). Hal itu turut mendorong artis-artis Indonesia profesional maupun amatir untuk memuli eksperimen dengan mementaskan lakon-lakon yang diterjemahkan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia.

Sensor yang keras, sulitnya untuk mendapatkan kertas dan tidak adanya pers yang bebas, membuat kehidupan sastra hanya bergerak melalui saluran-saluran resmi Jepang. Kondisi ini menyebabkan sulitnya kesempatan untuk menyiarkan atau mengeluarkan perasaan. Adalah salah kalau menganggap tidak ada nada patriotisme dalam karangan-karangan dan sajak-sajak, sekalipun harus disebutkan di dalam lingkungan “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” di belakang tiap perkataan “tanah air Indonesia”.

Kelompok sastrawan memiliki kedudukan yang relatif baik, karena terdapat fasilitas bagi perkembangan sastra. Cabang-cabang seni seperti seni drama, seni film, seni-musik dan seni rupa menerim fasilitas yang sama. Kegiatan seni diatur dan diawasi oleh suatu badan yang dibentuk oleh penguasaan Jepang, karena  imasukkan sebagai bagian Propaganda guna menunjang “ Perang Asia Timur Raya”. Mengenai kegiatan seni-musik komponis Cornel Simanjuntak menciptakan antara lain lagunya “Tanah Tumpah Darahku” yang menggambarkan rasa cinta terhadap tanah air. Begitu juga dengan lagunya “Maju Putra- Putri Indonesia” yang membangunkan semangat-kesadaran bangsa Indonesia untuk membangun Jawa Baru, dalam rangka Asia Timur Raya.

Beberapa pengarang yang lahir pada masa pemerintahan pendudukan Jepang misalnya M.S. Ashar, Usmar Isma’il, M.H. Lubis, Amal Hamzah, Nursyamsu, Anas Ma’ruf, Maria Amin, Rosihan Anwar, El Hakim dan lain-lainnya.......

0 Response to "Perkembangan sastra di Indonesia Pada Masa Penjajahan Jepang"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Klik salah satu Link di Bawah ini, untuk menutup BANNER ini...