Latest News

Pelaksanaan Sistim Tanam Paksa oleh Kolonial Hindia Belanda di Indonesia

Perubahan peta politik di Eropa akibat jatuhnya kekuasaan Napoleon di Prancis menyebabkan di Indonesia terjadi juga perubahan penjajah. Akibat jatuhnya kekuasaan Napoleon, negara-negara Eropa bersepakat mengadakan pertemuan di Wina yang dikenal sebagai Kongres Wina. Hasil pertemuan menyepakati bahwa keadaan politik dunia, khususnya Eropa harus dikembalikan seperti sebelum Napoleon berkuasa. Itu artinya bahwa keadaan Indonesia pun harus dikembalikan kepada Belanda oleh Inggris seperti sebelum Napoleon berkuasa.......
Pemerintah Inggris menindaklanjuti hasil keputusan Kongres Wina tersebut dengan melakukan pembicaraan dengan Belanda di London. Oleh karena itu, pertemuan Inggris–Belanda tentang masalah jajahannya disebut Perjanjian London. Salah satu butir kesepakatan pada Perjanjian London mengungkapkan bahwa Inggris bersedia mengembalikan wilayah Indonesia kepada Belanda. Pemerintah Belanda menindaklanjuti hasil pertemuan di London tersebut dengan membentuk Komisi Jenderal untuk menerima penyerahan wilayah. Komisi Jenderal juga mendapat tugas dari pemerintah Belanda untuk mengelola Indonesia. Anggota Komisi Jenderal itu terdiri atas Elout, Buyskes, dan van der Capellen. Perbaikan ekonomi di tanah jajahan menjadi tugas utama Komisi Jenderal. Hal itu disebabkan pada saat yang sama, keadaan dalam negeri Belanda juga kurang menguntungkan. Utang negara menumpuk tidak terbayar dan kas negara sedang kosong. Itu semua terjadi karena besarnya biaya yang dilakukan Belanda dalam melakukan perang yang melibatkannya.

Van der Capellen memegang peranan penting di dalam menjalankan pemerintahan kolonial di Indonesia. Van der Capellen berusaha mengeksploitasi kekayaan alam dan penduduk Indonesia secara besar-besaran untuk memperoleh pemasukan uang sebesar-besarnya. Salah satu kebijakannya adalah menyewakan tanah kepada para pengusaha Eropa. Sistem Sewa Tanah (Landelijk Stelsel) yang dilaksanakan van der Capellen sebenarnya meneruskan kebijakan Letnan Gubernur Raffles saat Inggris berkuasa di Indonesia.

Pemerintahan van der Capellen dianggap gagal oleh pemerintah Belanda. Oleh karena itu, pada tahun 1826 pemerintah Belanda menetapkan Komisaris Jenderal du Bus de Gisignies untuk memimpin pemerintahan kolonial. Beban untuk memperoleh pemasukan sebesar-besarnya guna menutupi kas negara yang kosong ternyata juga gagal dilaksanakan du Bus de Gisignies.

Pemerintah Belanda pada tahun 1830 selanjutnya menetapkan Johannes van den Bosch sebagai gubernur jenderal baru di Indonesia. Johannes van den Boch mempunyai tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar utang dan membayar biaya perang. Untuk menyelesaikan tugas tersebut, Johannes van den Bosch melaksanakan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Sistem Tanam Paksa mewajibkan para penduduk pribumi melakukan penanaman tanaman yang laku dan dibutuhkan pasar Eropa. Jenis tanaman wajib itu, antara lain tebu, nila, teh, kopi, tembakau, kayu manis, dan kapas. Sistem Taman Paksa (Cultuurstelsel) yang diberlakukan di Indonesia dari tahun 1830–1870 atau selama hampir 40 tahun telah membuat Negeri Belanda makmur, tetapi bangsa Indonesia sengsara. Adapun Ketentuan Pokok Sistem Tanam Paksa adalah :
a. Para petani yang mempunyai tanah diminta menyediakan seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman perdagangan yang sudah ditentukan.
b. Bagian tanah yang digunakan untuk penanaman tanaman wajib tersebut (seperlima) dibebaskan dari pembayaran pajak.
c. Hasil dari tanaman perdagangan itu harus diserahkan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda bila melebihi nilai pajaknya, sedangkan sisanya dikembalikan.
d Pekerjaan untuk menanam tanaman perdagangan tidak boleh melebihi dari pekerjaan menanam padi.
e Kegagalan panen menjadi tanggungan pemerintah.
f. Kewajiban penanaman tanaman wajib tanam tersebut dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk pengangkutan atau bekerja di pabrik. Penggarapan tanah untuk tanaman wajib diawasi langsung oleh para bupati, kepala desa, dan pegawai Belanda.

Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa sering terjadi penyimpangan. Hal itu disebabkan adanya penyelewangan upah yang diberikan Belanda kepada pamong praja sebagai penyelenggara Sistem Tanam Paksa. Upah itu disebut cultuurprocenten (persentase dari hasil tanaman yang dapat dikumpulkan dan diserahkan). Hal ini mengakibatkan para pamong praja selalu menindas rakyat untuk mengejar cultuurprocenten. Penyimpangan yang terjadi dalam
pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, antara lain sebagai berikut.
a. Penggunaan tanah seringkali tanpa melalui persetujuan dengan petani pemilik, tetapi langsung meminta dan luasnya melebihi seperlima bagian.
b. Tanah yang ditanami tanaman eksport masih dibebani pajak.
c. Kelebihan hasil panen tidak dikembalikan kepada rakyat.
d. Penggarapan tanaman ekspor melebihi waktu tanam padi.
e. Kegagalan panen seringkali dibebankan kepada petani, sehingga petani harus menanggung kerugian yang besar.
f. Banyak tenaga kerja yang seharusnya berhak menerima upah, kenyataannya tidak menerima, bahkan pekerjaannya lebih berat. Misalnya, mereka selain bertani juga harus bekerja di pabrik gula serta membuat jalan dan saluran air.
g. Ketentuan waktu kerja wajib 66 hari dalam setahun bagi orang yang tidak mampu membayar pajak dilanggar. Dalam praktiknya rakyat bekerja sampai berbulan-bulan dan kepada mereka tetap dituntut membayar pajak.
h. Pengerahan tenaga kerja dilakukan secara besar-besaran karena areal tanaman yang sangat luas dan dalam jangka waktu lama.

Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa banyak menyimpang dari ketentuan pokok dan cenderung mengadakan eksploitasi agraris yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem Tanam Paksa mengakibatkan penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa. Adapun penderitaan bangsa Indonesia akibat pelaksanaan sistem Tanam Paksa diantaranya:
a. Rakyat makin miskin karena sebagian tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara cuma-cuma kepada Belanda.
b. Sawah dan ladang menjadi terlantar karena kewajiban kerja paksa yang berkepanjangan mengakibatkan penghasilan menurun.
c. Beban rakyat makin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen gagal.
d. Akibat bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
e. Bahaya kelaparan dan wabah penyakit timbul di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan yang menimbulkan korban jiwa terjadi di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian itu telah mengakibatkan penurunan jumlah penduduk secara drastis. Di Demak jumlah penduduknya yang semula 336.000 jiwa turun sampai dengan 120.000 jiwa, di Grobogan dari 89.500 turun sampai dengan 9.000 jiwa. Demikian pula yang terjadi di daerah-daerah lain, penyakit busung lapar (hongerudeem) merajalela.
f. Rakyat Indonesia mengenal berbagai jenis tanaman eksport.

Bagi Belanda sistem Tanam Paksa memberikan keuntungan yang luar biasa, yaitu :
a. Mendatangkan keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
b. Dapat melunasi hutang-hutang Belanda.
c. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja
d. Memenuhi kas Belanda yang semula kosong
e. Berhasil membangun kota Amsterdam sebagai sebagai pusat perdagangan dunia.
f. Perdagangan Belanda berjalan pesat......

0 Response to "Pelaksanaan Sistim Tanam Paksa oleh Kolonial Hindia Belanda di Indonesia"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Klik salah satu Link di Bawah ini, untuk menutup BANNER ini...