MENGENAL KEBUDAYAAN SUKU BANGSA BATAK
Daerah persebaran suku bangsa Batak meliputi daerah pegunungan di Sumatra Utara. Sebelah utara berbatasan dengan Nangroe Aceh Darusalam, sebelah selatan berbatasan dengan Propinsi Riau dan Sumatra Barat. Suku bangsa Batak yang mendiami wilayah tersebut adalah Batak Karo, Batak Pak-Pak, Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Orang-orang Batak ini mendiami Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulo, Simalungun, Dairi, Toba, Hombang, Silindung, Angkola, Mandailing, dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Dalam materi ini kita akan meninjau kebudayaan suku batak dalam hal religius / kepercayaan, kekerabatan, seni dan politik
Sistem Religi dan Kepercayaan suku budaya batak
Kehidupan religi masyarakat Batak dipengaruhi beberapa agama. Agama Islam telah masuk ke daerah Batak sekitar awal abad ke-19 yang dibawa oleh orang Minangkabau, dianut oleh sebagian besar suku bangsa Batak bagian selatan, seperti Batak Mandailing dan Angkola. Agama Kristen disiarkan ke daerah Toba dan Simalungun oleh organisasi penyiar agama dari Jerman dan Belanda sekitar tahun 1863, terutama pada Batak Karo. Selain kedua agama tersebut orang Batak juga mempunyai kepercayaan pada animisme. Orang Batak percaya bahwa alam beserta isinya diciptakan oleh Debata Mula Jadi, Na Bolon (Toba) atau Dibata Kaci-Kaci (Karo) yang bertempat tinggal di langit. Masyarakat Batak juga mengenal tiga konsep jiwa dan roh, yaitu tondi, sahala, dan begu.
Tondi merupakan jiwa atau roh yang juga merupakan kekuatan. Tondi diterima sewaktu seseorang berada dalam rahim ibu. Jika Tondi keluar sementara, seseorang akan sakit, dan jika keluar seterusnya maka akan mati. Sahala adalah kekuatan yang menentukan hidup seseorang yang diterima bersama tondi sewaktu masih dalam rahim ibu. Sahala atau roh setiap orang kekuatannya tidak sama. Begu adalah tondi yang meninggal. Begu dapat bertingkah laku sebagaimana manusia, ada yang baik ada juga yang jahat. Supaya tidak mengganggu, begu diberi sesajen.
Sistem Kekerabatan suku budaya batak
Orang Batak menghitung hubungan keturunan berdasarkan prinsip keturunan patrilineal, yaitu suatu kelompok kekerabatan berdasakan satu ayah, satu kakek, dan satu nenek moyang. Kelompok kekerabatan yang terkecil ialah keluarga batih atau rips (Toba), jabu (Karo). Suatu kelompok kekerabatan yang besar pada orang Toba disebut marga, orang Karo menyebutnya merga. Marga atau merga dapat berarti klen.
Dalam masyarakat Batak ada suatu hubungan antara kelompokkelompok kekerabatan yang mantap. Kelompok kerabat tempat istri berasal disebut hula-hula pada Batak Toba, kalimbubu pada Batak Karo. Keluarga penyunting gadis disebut beru atau boru. Keluarga pihak laki-laki atau perempuan yang sedarah disebut senina atau sabutuha. Suatu upacara adat, misalnya pesta perkawinan dan kematian, tidaklah sempurna kalau ketiga kelompok itu tidak hadir.
Perkawinan pada masyarakat Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat laki-laki dan perempuan. Perkawinan mengakibatkan terbentuknya hubungan antara pihak keluarga laki-laki (peranak = Toba, sinereh = Karo) dan kaum kerabat si wanita (parbaru = Toba, sinereh = Karo). Itulah sebabnya, menurut adat lama, seorang laki-laki tidak bebas memilih jodohnya. Perkawinan dianggap ideal apabila seorang laki-laki mengambil salah seorang putri saudara laki-laki ibunya sebagai istri. Seorang pria atau wanita tidak boleh kawin dengan orang semarga (satu marga), karena orang semarga dianggap bersaudara. Sistem perkawinan semacam ini disebut asimetrik konubium.
Sistem Kesenian suku budaya batak
Kebudayaan suku bangsa Batak cukup khas dan beraneka ragam. Hal ini terlihat dari bentuk rumah tradisional, upacara, maupun pakaian adatnya.
a) Rumah Tradisional
Suku bangsa Batak memiliki beberapa tipe rumah tradisional dengan perbedaan yang cukup jelas, diantaranya tipe rumah berikut.
1) Batak Toba
Rumah Batak Toba memberikan kesan kokoh karena konstruksi tiang-tiangnya terbuat dari kayu gelondongan. Dulu, ketika sering terjadi pertikaian antarsuku, rumah-rumah dikelompokkan sebagai benteng di atas bukit. Lingkungannya dikelilingi pohon yang cukup rapat sebagai pagar.
2) Batak Karo
Rumah Batak Karo merupakan tipe rumah pengungsian. Pintu depannya dihadapkan ke arah hulu dan pintu belakangnya ke arah muara. Bentuk atap rumah kepala marga berbeda dengan bentuk rumah-rumah lainnya. Umumnya, daerah rumah Batak Karo direncanakan untuk keluarga jamak yang dihuni rata-rata delapan keluarga batih.
3) Batak Simalungun
Bentuk atap rumah Batak Simalungun kadang-kadang tidak simetris. Mahkota atapnya menghadap ke empat arah mata angin dan ujung atapnya dihiasi dengan hiasan yang berbentuk kepala kerbau.
b) Pakaian Adat
Pelengkap pakaian suku bangsa Batak yang khas adalah Ulos yang berbentuk segi empat panjang (panjang sekitar 1,80 m dan lebarnya 1 m) yang ujungnya berumbai-rumbai. Proses pembuatannya ditenun dengan tangan dan umumnya dikerjakan oleh wanita. Suku bangsa Batak juga memiliki banyak ragam pakaian pengantin yang indah. Pada suku bangsa Batak Mandailing, pengantin prianya memakai baju teluk belanga dan kain sarung disuji, penutup kepalanya memakai semacam songkok. Pakaian pengantin ini terpengaruh oleh daerah Minangkabau. Pakaian pengantin wanitanya ialah baju kurung dan berkain suji. Pada bahunya tersandang ulos bintang maratur, ulos ragi hotang, ulos bolean, ulos namarjungkit, dan masih banyak lagi. Penutup kepalanya memakai mahkota yang disebut bulang dengan dihias kembang goyang yang disebut jagar-jagar. Perhiasan yang dipakai berupa kalung susun yang disebut gajah meong dan seperangkat gelang di tangan.
c) Seni Tari dan Alat Musik Tradisional
Tarian Batak yang dikenal dengan tortor sangat banyak ragam dan variasinya. Tarian ini dibawakan baik oleh pria maupun wanita dan diiringi oleh seperangkat alat musik. Alat musik yang mengiringi tarian tersebut adalah agung (4 buah), taganing (6 buah, 5 kecil, dan 1 besar), sarune, yaitu sejenis alat tiup (1 atau 2 buah), dan gesek.
Sistem Politik suku budaya batak
Secara umum, kepemimpinan pada masyarakat Batak terbagi dalam tiga bidang, yaitu kepemimpinan adat, pemerintahan, dan agama. Kepemimpinan dalam bidang adat meliputi persoalan perkawinan, perceraian, kematian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran anak, dan sebagainya. Kepemimpinan di bidang adat tidak berada dalam tangan seorang tokoh, tetapi merupakan suatu musyawarah dari sungkep sitelu.
Kepemimpinan di bidang pemerintahan dipegang oleh salah seorang dari keturunan tertua merga taneh, kepala huta disebut panghulu, kepala urung disebut raja urung dan sibayak untuk bagian kerajaan. Kedudukan tersebut merupakan jabatan turun-temurun dan yang berhak memegangnya adalah anak laki-laki tertua (situa) atau bungsu (sinuda). Anak-anak yang lain (sitengah) tidak mempunyai hak menjadi pemimpin. Selain menjalankan pemerintahan, mereka juga menjalankan tugas peradilan, yaitu panghulu mengetuai sidang di bale huta dan raja urung. Pengadilan tertinggi adalah bale raja berompat yang merupakan sidang dari kelima sibayak yang ada di tanah Karo.
Masyarakat Karo tidak mengenal pimpinan keagamaan asli karena konsepsi tentang kekuatan gaib dan kepercayaan lain tidak seragam. Namun, pada suku bangsa Batak yang menganut agama Islam, tokoh dalam agama Islam (para mualim) sangat besar peranan dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Jabatan ini tidak turuntemurun, seperti dukun guru sibaso yang menjadi dukun karena pengalaman tertentu. Demikian pula pemilihan pendeta dan ulama, mereka dipilih karena pengetahuan agama, pengabdian, dan keteladanannya.
Daerah persebaran suku bangsa Batak meliputi daerah pegunungan di Sumatra Utara. Sebelah utara berbatasan dengan Nangroe Aceh Darusalam, sebelah selatan berbatasan dengan Propinsi Riau dan Sumatra Barat. Suku bangsa Batak yang mendiami wilayah tersebut adalah Batak Karo, Batak Pak-Pak, Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Orang-orang Batak ini mendiami Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulo, Simalungun, Dairi, Toba, Hombang, Silindung, Angkola, Mandailing, dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Dalam materi ini kita akan meninjau kebudayaan suku batak dalam hal religius / kepercayaan, kekerabatan, seni dan politik
Sistem Religi dan Kepercayaan suku budaya batak
Kehidupan religi masyarakat Batak dipengaruhi beberapa agama. Agama Islam telah masuk ke daerah Batak sekitar awal abad ke-19 yang dibawa oleh orang Minangkabau, dianut oleh sebagian besar suku bangsa Batak bagian selatan, seperti Batak Mandailing dan Angkola. Agama Kristen disiarkan ke daerah Toba dan Simalungun oleh organisasi penyiar agama dari Jerman dan Belanda sekitar tahun 1863, terutama pada Batak Karo. Selain kedua agama tersebut orang Batak juga mempunyai kepercayaan pada animisme. Orang Batak percaya bahwa alam beserta isinya diciptakan oleh Debata Mula Jadi, Na Bolon (Toba) atau Dibata Kaci-Kaci (Karo) yang bertempat tinggal di langit. Masyarakat Batak juga mengenal tiga konsep jiwa dan roh, yaitu tondi, sahala, dan begu.
Tondi merupakan jiwa atau roh yang juga merupakan kekuatan. Tondi diterima sewaktu seseorang berada dalam rahim ibu. Jika Tondi keluar sementara, seseorang akan sakit, dan jika keluar seterusnya maka akan mati. Sahala adalah kekuatan yang menentukan hidup seseorang yang diterima bersama tondi sewaktu masih dalam rahim ibu. Sahala atau roh setiap orang kekuatannya tidak sama. Begu adalah tondi yang meninggal. Begu dapat bertingkah laku sebagaimana manusia, ada yang baik ada juga yang jahat. Supaya tidak mengganggu, begu diberi sesajen.
Sistem Kekerabatan suku budaya batak
Orang Batak menghitung hubungan keturunan berdasarkan prinsip keturunan patrilineal, yaitu suatu kelompok kekerabatan berdasakan satu ayah, satu kakek, dan satu nenek moyang. Kelompok kekerabatan yang terkecil ialah keluarga batih atau rips (Toba), jabu (Karo). Suatu kelompok kekerabatan yang besar pada orang Toba disebut marga, orang Karo menyebutnya merga. Marga atau merga dapat berarti klen.
Dalam masyarakat Batak ada suatu hubungan antara kelompokkelompok kekerabatan yang mantap. Kelompok kerabat tempat istri berasal disebut hula-hula pada Batak Toba, kalimbubu pada Batak Karo. Keluarga penyunting gadis disebut beru atau boru. Keluarga pihak laki-laki atau perempuan yang sedarah disebut senina atau sabutuha. Suatu upacara adat, misalnya pesta perkawinan dan kematian, tidaklah sempurna kalau ketiga kelompok itu tidak hadir.
Perkawinan pada masyarakat Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat laki-laki dan perempuan. Perkawinan mengakibatkan terbentuknya hubungan antara pihak keluarga laki-laki (peranak = Toba, sinereh = Karo) dan kaum kerabat si wanita (parbaru = Toba, sinereh = Karo). Itulah sebabnya, menurut adat lama, seorang laki-laki tidak bebas memilih jodohnya. Perkawinan dianggap ideal apabila seorang laki-laki mengambil salah seorang putri saudara laki-laki ibunya sebagai istri. Seorang pria atau wanita tidak boleh kawin dengan orang semarga (satu marga), karena orang semarga dianggap bersaudara. Sistem perkawinan semacam ini disebut asimetrik konubium.
Sistem Kesenian suku budaya batak
Kebudayaan suku bangsa Batak cukup khas dan beraneka ragam. Hal ini terlihat dari bentuk rumah tradisional, upacara, maupun pakaian adatnya.
a) Rumah Tradisional
Suku bangsa Batak memiliki beberapa tipe rumah tradisional dengan perbedaan yang cukup jelas, diantaranya tipe rumah berikut.
1) Batak Toba
Rumah Batak Toba memberikan kesan kokoh karena konstruksi tiang-tiangnya terbuat dari kayu gelondongan. Dulu, ketika sering terjadi pertikaian antarsuku, rumah-rumah dikelompokkan sebagai benteng di atas bukit. Lingkungannya dikelilingi pohon yang cukup rapat sebagai pagar.
2) Batak Karo
Rumah Batak Karo merupakan tipe rumah pengungsian. Pintu depannya dihadapkan ke arah hulu dan pintu belakangnya ke arah muara. Bentuk atap rumah kepala marga berbeda dengan bentuk rumah-rumah lainnya. Umumnya, daerah rumah Batak Karo direncanakan untuk keluarga jamak yang dihuni rata-rata delapan keluarga batih.
3) Batak Simalungun
Bentuk atap rumah Batak Simalungun kadang-kadang tidak simetris. Mahkota atapnya menghadap ke empat arah mata angin dan ujung atapnya dihiasi dengan hiasan yang berbentuk kepala kerbau.
b) Pakaian Adat
Pelengkap pakaian suku bangsa Batak yang khas adalah Ulos yang berbentuk segi empat panjang (panjang sekitar 1,80 m dan lebarnya 1 m) yang ujungnya berumbai-rumbai. Proses pembuatannya ditenun dengan tangan dan umumnya dikerjakan oleh wanita. Suku bangsa Batak juga memiliki banyak ragam pakaian pengantin yang indah. Pada suku bangsa Batak Mandailing, pengantin prianya memakai baju teluk belanga dan kain sarung disuji, penutup kepalanya memakai semacam songkok. Pakaian pengantin ini terpengaruh oleh daerah Minangkabau. Pakaian pengantin wanitanya ialah baju kurung dan berkain suji. Pada bahunya tersandang ulos bintang maratur, ulos ragi hotang, ulos bolean, ulos namarjungkit, dan masih banyak lagi. Penutup kepalanya memakai mahkota yang disebut bulang dengan dihias kembang goyang yang disebut jagar-jagar. Perhiasan yang dipakai berupa kalung susun yang disebut gajah meong dan seperangkat gelang di tangan.
c) Seni Tari dan Alat Musik Tradisional
Tarian Batak yang dikenal dengan tortor sangat banyak ragam dan variasinya. Tarian ini dibawakan baik oleh pria maupun wanita dan diiringi oleh seperangkat alat musik. Alat musik yang mengiringi tarian tersebut adalah agung (4 buah), taganing (6 buah, 5 kecil, dan 1 besar), sarune, yaitu sejenis alat tiup (1 atau 2 buah), dan gesek.
Sistem Politik suku budaya batak
Secara umum, kepemimpinan pada masyarakat Batak terbagi dalam tiga bidang, yaitu kepemimpinan adat, pemerintahan, dan agama. Kepemimpinan dalam bidang adat meliputi persoalan perkawinan, perceraian, kematian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran anak, dan sebagainya. Kepemimpinan di bidang adat tidak berada dalam tangan seorang tokoh, tetapi merupakan suatu musyawarah dari sungkep sitelu.
Kepemimpinan di bidang pemerintahan dipegang oleh salah seorang dari keturunan tertua merga taneh, kepala huta disebut panghulu, kepala urung disebut raja urung dan sibayak untuk bagian kerajaan. Kedudukan tersebut merupakan jabatan turun-temurun dan yang berhak memegangnya adalah anak laki-laki tertua (situa) atau bungsu (sinuda). Anak-anak yang lain (sitengah) tidak mempunyai hak menjadi pemimpin. Selain menjalankan pemerintahan, mereka juga menjalankan tugas peradilan, yaitu panghulu mengetuai sidang di bale huta dan raja urung. Pengadilan tertinggi adalah bale raja berompat yang merupakan sidang dari kelima sibayak yang ada di tanah Karo.
Masyarakat Karo tidak mengenal pimpinan keagamaan asli karena konsepsi tentang kekuatan gaib dan kepercayaan lain tidak seragam. Namun, pada suku bangsa Batak yang menganut agama Islam, tokoh dalam agama Islam (para mualim) sangat besar peranan dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Jabatan ini tidak turuntemurun, seperti dukun guru sibaso yang menjadi dukun karena pengalaman tertentu. Demikian pula pemilihan pendeta dan ulama, mereka dipilih karena pengetahuan agama, pengabdian, dan keteladanannya.
0 Response to "kebudayaan suku bangsa batak : studi etnografi"