Kebijakan Dalam Negeri pada masa Pemerintahan Orde Baru.......
Struktur perekonomian Indonesia pada tahun 1950–1965 dalam keadaan kritis. Pemerintah Orde Baru meletakkan landasan yang kuat dalam pelaksanaan pembangunan melalui tahapan Repelita, keadaan kritis ditandai oleh hal-hal sebagai berikut.
a. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian sehingga struktur perekonomian Indonesia lebih condong pada sektor pertanian.
b. Komoditas ekspor Indonesia dari bahan mentah (hasil pertanian) menghadapi persaingan di pasaran internasional, misalnya karet alam dari Malaysia, gula tebu dari Meksiko, kopi dari Brasil, dan rempah-rempah dari Zanzibar (Afrika), sehingga devisa negara sangat rendah dan tidak mampu mengimpor bahan kebutuhan pokok masyarakat yang saat itu belum dapat diproduksi di dalam negeri.
c. Tingkat investasi rendah dan kurangnya tenaga ahli di bidang industri, sehingga industri dalam negeri kurang berkembang.
d. Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Indonesia sangat rendah. Tahun 1960-an hanya mencapai 70 dolar Amerika per tahun, lebih rendah dari pendapatan rata-rata penduduk India, Bangladesh, dan Nigeria saat itu.
e. Produksi Nasional Bruto (PDB) per tahun sangat rendah. Di sisi lain pertumbuhan penduduk sangat tinggi (rata-rata 2,5% per tahun dalam tahun 1950-an).
f. Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar di dunia.
g. Struktur perekonomian pada akhir tahun 1965, berada dalam keadaan yang sangat merosot. Tingkat inflasi telah mencapai angka 65% dan sarana ekonomi di daerah-daerah berada dalam keadaan rusak berat karena ulah kaum PKI/BTI yang saat itu berkuasa dan dengan sengaja ingin mengacaukan situasi ekonomi rakyat yang menentangnya.
Tugas pemerintah Orde Baru adalah menghentikan proses kemerosotan ekonomi dan membina landasan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi ke arah yang wajar. Dalam mengemban tugas utama tersebut, berbagai kebijaksanaan telah diambil sebagaimana tertuang dalam program jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan sandang. Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila laju inflasi telah dapat terkendalikan dan suatu tingkat stabilitas tercapai, barulah dapat diharapkan pulihnya kegiatan ekonomi yang wajar serta terbukanya kesempatan bagi peningkatan produksi. Dengan usaha keras tercapai tingkat perekonomian yang stabil dalam waktu relatif singkat.
Sejak 1 April 1969 pemerintah telah meletakkan landasan dimungkinkannya gerak tolak pembangunan dengan ditetapkannya Repelita I. Dengan makin pulihnya situasi ekonomi, pada tahun 1969 bangsa Indonesia mulai melaksanakan pembangunan lima tahun yang pertama. Berbagai prasarana penting direhabilitasi serta iklim usaha dan investasi dikembangkan. Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas yang sangat tinggi karena menjadi kunci bagi pemenuhan kebutuhan pangan rakyat dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat. Repelita I dapat dilaksanakan dan selesai dengan baik, bahkan berbagai kegiatan pembangunan dipercepat sehingga dapat diikuti oleh Repelita selanjutnya. Perhatian khusus pada sektor terbesar yang bermanfaat menghidupi rakyat, yaitu sektor pertanian. Sektor pertanian harus dibangun lebih dahulu, sektor ini harus ditingkatkan produktivitasnya.
Bertumpu pada sektor pertanian yang makin tangguh itu kemudian barulah dibangun sektorsektor lain. Demikianlah pada tahap-tahap awal pembangunan, secara sadar bangsa Indonesia memberikan prioritas yang sangat tinggi pada bidang pertanian. Pembangunan yang dilaksanakan, yaitu membangun berbagai prasarana pertanian, seperti irigasi dan perhubungan, cara-cara bertani, dan teknologi pertanian yang diajarkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Penyediaan sarana penunjang utama, seperti pupuk, diamankan dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan. Pemasaran hasil produksi mereka, kita berikan kepastian melalui kebijakan harga dasar dan kebijakan stok beras.
Strategi yang memprioritaskan pembangunan di bidang pertanian dan berkat ketekunan serta kerja keras bangsa Indonesia, khususnya para petani, produksi pangan dapat terus ditingkatkan. Akhirnya, pada tahun 1984 bangsa Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Hal ini merupakan titik balik yang sangat penting sebab dalam tahun 1970-an, Indonesia merupakan negara pengimpor beras terbesar di dunia. Bersamaan dengan itu tercipta pula lapangan kerja dan sumber mata pencaharian bagi para petani. Swasembada beras itu sekaligus memperkuat ketahanan nasional di bidang ekonomi, khususnya pangan.
Dengan ditetapkannya Repelita I untuk periode 1969/1970– 1973/1974, merupakan awal pembangunan periode 25 tahun pertama (PJP I tahun 1969/ 1970–1993/1994). Pembangunan dalam periode PJP I dimulai dengan pelaksanaan Repelita I dengan strategi dasar diarahkan pada pencapaian stabilisasi nasional (ekonomi dan politik), pertumbuhan ekonomi, serta menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian. Ditempatkannya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi sebagai strategi dasar dalam Repelita I tersebut dengan pertimbangan untuk melaksanakan Repelita sesuai dengan tahapantahapan yang telah ditentukan (diprioritaskan). Demikian pula pertimbangan untuk menitikberatkan pembangunan pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian, didasarkan pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara bercorak agraris yang sebagian besar penduduknya (65%–75%) bermata pencaharian di bidang pertanian (termasuk kehutanan, perkebunan, perikanan, dan peternakan). Ini berarti sektor pertanian memberi sumbangan terbesar kepada penerimaan devisa dan lapangan kerja. Mengingat pula bahwa sektor ini masih memiliki kapasitas lebih yang belum dimanfaatkan. Oleh karena itu, salah satu indikasi yang disimpulkan dalam Repelita I ini adalah perlunya pengarahan sumber-sumber (resources) ke sektor pertanian. Secara lebih khusus, hal ini berarti meningkatkan produksi pangan dan ekspor. Adanya hubungan antarberbagai kegiatan ekonomi (inter-sectoral ) maka pertanian sebagai sektor pemimpin, diharapkan dapat menarik dan mendorong sektor-sektor lainnya, antara lain sektor industri yang menunjang sektor pertanian, seperti pabrik pupuk, insektisida serta prasarana ekonomi lainnya, misalnya sarana angkutan dan jalan. Kegiatan pembangunan selama Pelita I telah menunjukkan hasil-hasil yang cukup menggembirakan, antara lain produksi beras telah meningkat dari 11,32 juta ton menjadi 14 juta ton; pertumbuhan ekonomi dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun; pendapatan rata-rata penduduk (pendapatan per kapita) dari 80 dolar Amerika dapat ditingkatkan menjadi 170 dolar Amerika. Tingkat inflasi dapat ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I (1973/1974).
Repelita II untuk periode 1974/1975–1978/1979 dengan strategi dasar diarahkan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas nasional, dan pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan peningkatan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Setelah Repelita II dilanjutkan dengan Repelita III untuk periode 1979/ 1980–1983/1984, yakni dengan titik berat pembangunan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Repelita III dilanjutkan dengan Repelita IV (1984/1985–1988/1989) dengan titik berat pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya. Pembangunan sektor industri meliputi industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri. PJP I telah diakhiri dengan Repelita V (1989/1990–1993/1994). Tahun 1973, Majelis Permusyawaratan Rakyat merumuskan dan menetapkan GBHN pertama merupakan strategi pembangunan nasional.........
Struktur perekonomian Indonesia pada tahun 1950–1965 dalam keadaan kritis. Pemerintah Orde Baru meletakkan landasan yang kuat dalam pelaksanaan pembangunan melalui tahapan Repelita, keadaan kritis ditandai oleh hal-hal sebagai berikut.
a. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian sehingga struktur perekonomian Indonesia lebih condong pada sektor pertanian.
b. Komoditas ekspor Indonesia dari bahan mentah (hasil pertanian) menghadapi persaingan di pasaran internasional, misalnya karet alam dari Malaysia, gula tebu dari Meksiko, kopi dari Brasil, dan rempah-rempah dari Zanzibar (Afrika), sehingga devisa negara sangat rendah dan tidak mampu mengimpor bahan kebutuhan pokok masyarakat yang saat itu belum dapat diproduksi di dalam negeri.
c. Tingkat investasi rendah dan kurangnya tenaga ahli di bidang industri, sehingga industri dalam negeri kurang berkembang.
d. Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Indonesia sangat rendah. Tahun 1960-an hanya mencapai 70 dolar Amerika per tahun, lebih rendah dari pendapatan rata-rata penduduk India, Bangladesh, dan Nigeria saat itu.
e. Produksi Nasional Bruto (PDB) per tahun sangat rendah. Di sisi lain pertumbuhan penduduk sangat tinggi (rata-rata 2,5% per tahun dalam tahun 1950-an).
f. Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar di dunia.
g. Struktur perekonomian pada akhir tahun 1965, berada dalam keadaan yang sangat merosot. Tingkat inflasi telah mencapai angka 65% dan sarana ekonomi di daerah-daerah berada dalam keadaan rusak berat karena ulah kaum PKI/BTI yang saat itu berkuasa dan dengan sengaja ingin mengacaukan situasi ekonomi rakyat yang menentangnya.
Tugas pemerintah Orde Baru adalah menghentikan proses kemerosotan ekonomi dan membina landasan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi ke arah yang wajar. Dalam mengemban tugas utama tersebut, berbagai kebijaksanaan telah diambil sebagaimana tertuang dalam program jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan sandang. Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila laju inflasi telah dapat terkendalikan dan suatu tingkat stabilitas tercapai, barulah dapat diharapkan pulihnya kegiatan ekonomi yang wajar serta terbukanya kesempatan bagi peningkatan produksi. Dengan usaha keras tercapai tingkat perekonomian yang stabil dalam waktu relatif singkat.
Sejak 1 April 1969 pemerintah telah meletakkan landasan dimungkinkannya gerak tolak pembangunan dengan ditetapkannya Repelita I. Dengan makin pulihnya situasi ekonomi, pada tahun 1969 bangsa Indonesia mulai melaksanakan pembangunan lima tahun yang pertama. Berbagai prasarana penting direhabilitasi serta iklim usaha dan investasi dikembangkan. Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas yang sangat tinggi karena menjadi kunci bagi pemenuhan kebutuhan pangan rakyat dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat. Repelita I dapat dilaksanakan dan selesai dengan baik, bahkan berbagai kegiatan pembangunan dipercepat sehingga dapat diikuti oleh Repelita selanjutnya. Perhatian khusus pada sektor terbesar yang bermanfaat menghidupi rakyat, yaitu sektor pertanian. Sektor pertanian harus dibangun lebih dahulu, sektor ini harus ditingkatkan produktivitasnya.
Bertumpu pada sektor pertanian yang makin tangguh itu kemudian barulah dibangun sektorsektor lain. Demikianlah pada tahap-tahap awal pembangunan, secara sadar bangsa Indonesia memberikan prioritas yang sangat tinggi pada bidang pertanian. Pembangunan yang dilaksanakan, yaitu membangun berbagai prasarana pertanian, seperti irigasi dan perhubungan, cara-cara bertani, dan teknologi pertanian yang diajarkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Penyediaan sarana penunjang utama, seperti pupuk, diamankan dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan. Pemasaran hasil produksi mereka, kita berikan kepastian melalui kebijakan harga dasar dan kebijakan stok beras.
Strategi yang memprioritaskan pembangunan di bidang pertanian dan berkat ketekunan serta kerja keras bangsa Indonesia, khususnya para petani, produksi pangan dapat terus ditingkatkan. Akhirnya, pada tahun 1984 bangsa Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Hal ini merupakan titik balik yang sangat penting sebab dalam tahun 1970-an, Indonesia merupakan negara pengimpor beras terbesar di dunia. Bersamaan dengan itu tercipta pula lapangan kerja dan sumber mata pencaharian bagi para petani. Swasembada beras itu sekaligus memperkuat ketahanan nasional di bidang ekonomi, khususnya pangan.
Dengan ditetapkannya Repelita I untuk periode 1969/1970– 1973/1974, merupakan awal pembangunan periode 25 tahun pertama (PJP I tahun 1969/ 1970–1993/1994). Pembangunan dalam periode PJP I dimulai dengan pelaksanaan Repelita I dengan strategi dasar diarahkan pada pencapaian stabilisasi nasional (ekonomi dan politik), pertumbuhan ekonomi, serta menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian. Ditempatkannya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi sebagai strategi dasar dalam Repelita I tersebut dengan pertimbangan untuk melaksanakan Repelita sesuai dengan tahapantahapan yang telah ditentukan (diprioritaskan). Demikian pula pertimbangan untuk menitikberatkan pembangunan pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian, didasarkan pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara bercorak agraris yang sebagian besar penduduknya (65%–75%) bermata pencaharian di bidang pertanian (termasuk kehutanan, perkebunan, perikanan, dan peternakan). Ini berarti sektor pertanian memberi sumbangan terbesar kepada penerimaan devisa dan lapangan kerja. Mengingat pula bahwa sektor ini masih memiliki kapasitas lebih yang belum dimanfaatkan. Oleh karena itu, salah satu indikasi yang disimpulkan dalam Repelita I ini adalah perlunya pengarahan sumber-sumber (resources) ke sektor pertanian. Secara lebih khusus, hal ini berarti meningkatkan produksi pangan dan ekspor. Adanya hubungan antarberbagai kegiatan ekonomi (inter-sectoral ) maka pertanian sebagai sektor pemimpin, diharapkan dapat menarik dan mendorong sektor-sektor lainnya, antara lain sektor industri yang menunjang sektor pertanian, seperti pabrik pupuk, insektisida serta prasarana ekonomi lainnya, misalnya sarana angkutan dan jalan. Kegiatan pembangunan selama Pelita I telah menunjukkan hasil-hasil yang cukup menggembirakan, antara lain produksi beras telah meningkat dari 11,32 juta ton menjadi 14 juta ton; pertumbuhan ekonomi dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun; pendapatan rata-rata penduduk (pendapatan per kapita) dari 80 dolar Amerika dapat ditingkatkan menjadi 170 dolar Amerika. Tingkat inflasi dapat ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I (1973/1974).
Repelita II untuk periode 1974/1975–1978/1979 dengan strategi dasar diarahkan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas nasional, dan pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan peningkatan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Setelah Repelita II dilanjutkan dengan Repelita III untuk periode 1979/ 1980–1983/1984, yakni dengan titik berat pembangunan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Repelita III dilanjutkan dengan Repelita IV (1984/1985–1988/1989) dengan titik berat pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya. Pembangunan sektor industri meliputi industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri. PJP I telah diakhiri dengan Repelita V (1989/1990–1993/1994). Tahun 1973, Majelis Permusyawaratan Rakyat merumuskan dan menetapkan GBHN pertama merupakan strategi pembangunan nasional.........
0 Response to "Kebijakan Dalam Negeri pada masa Pemerintahan Orde Baru"