Latest News

Mengembangkan Ide dengan Menulis Puisi Lama

Mengembangkan Ide dengan Menulis Puisi Lama
Puisi lama merupakan puisi yang terikat oleh syarat-syarat, seperti jumlah larik dalam setiap bait, jumlah suku kata dalam setiap larik, pola rima dan irama, serta muatan setiap bait. Yang termasuk puisi lama adalah bidal, gazal, gurindam, mantra, masnawi, nazam, kith’ah, rubai, pantun, seloka, syair, talibun, dan teromba. Meskipun bentuk puisi lama cukup banyak, kita akan menekuninya sebagian saja, terutama yang masih memengaruhi penulisan puisi modern, yaitu pantun, syair, dan mantra.

1. Pantun
Pantun merupakan ragam puisi lama yang tiap baitnya terdiri atas empat larik dengan rima akhir a-b-a-b. Setiap larik biasanya terdiri atas empat kata atau delapan sampai dengan 12 suku kata dan dengan ketentuan bahwa dua larik pertama selalu merupakan kiasan atau sampiran, sementara isi atau maksud sesungguhnya terdapat pada larik ketiga dan keempat. Berdasarkan struktur dan persyaratannya, pantun dapat terbagi ke dalam pantun biasa, pantun kilat atau karmina, dan pantun berkait.
Pantun biasa adalah pantun seperti kita kenal lazimnya dan rincian persyaratannya telah kita singgung di atas, namun dengan tambahan, isinya curahan perasaan, sindiran, nasihat, dan peribahasa. Pantun biasa pun dapat selesai hanya dengan satu bait. Perhatikanlah pantun yang cukup populer berikut ini!
Pantun kilat atau karmina memiliki syarat-syarat serupa dengan pantun biasa. Perbedaan terjadi karena karmina sangat singkat, yaitu baitnya hanya terdiri atas dua larik, sehingga sampiran dan isi terletak pada larik pertama dan kedua. Perhatikanlah beberapa karmina berikut!
Pantun berkait kadang-kadang juga disebut dengan pantun berantai, merupakan pantun yang bersambung antara bait satu dan bait berikutnya. Dengan catatan, larik kedua dan keempat setiap bait pantun akan muncul kembali pada larik pertama dan ketiga pada bait berikutnya. Perhatikanlah pantun berkait berikut ini!
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian.

Ada ubi ada talas,
Ada budi ada balas.

Anak ayam pulang ke kandang,
Jangan lupa akan sembahyang.

Satu dua tiga dan empat,
Siapa cepat tentu dapat.

Tanam melati di rumah-rumah
Ubur-ubur sampingan dua
Kalau mati kita bersama
Satu kubur kita berdua

Ubur-ubur sampingan dua
Tanam melati bersusun bangkai
Satu kubur kita berdua
Kalau boleh bersusun bangkai

2. Syair
Syair bersumber dari kesusastraan Arab dan tumbuh memasyarakat sekitar abad ke-13, seiring dengan masuknya agama Islam ke Nusantara. Seperti halnya pantun, syair memiliki empat larik dalam setiap baitnya; setiap larik terdiri atas empat kata atau antara delapan sampai dengan dua belas suku kata. Akan tetapi, syair tidak pernah menggunakan sampiran. Dengan kata lain, larik-larik yang terdapat dalam syair memuat isi syair tersebut. Perbedaan pantun dan syair terletak juga pada pola rima. Apabila pantun berpola a-b-a-b, maka syair berpola a-a-a-a.
Karena bait syair terdiri atas isi semata, antara bait yang satu dengan bait lainnya biasanya terangkai sebuah cerita. Jadi, apabila orang akan bercerita, syair adalah pilihan yang tepat. Cerita yang dikemas dalam bentuk syair biasanya bersumber dari mitologi, religi, sejarah, atau dapat juga rekaan semata dari pengarangnya. Syair yang cukup terkenal yang merupakan khazanah sastra Nusantara, misalnya Syair Perahu karya Hamzah Fansuri, Syair Singapura Dimakan Api karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Syair Bidasari, Syair Abdul Muluk, Syair Ken Tambunan, Syair Burung Pungguk, dan Syair Yatim Nestapa. Marilah kita sejenak memerhatikan beberapa bait pengantar Syair Burung Pungguk:
Bismillah itu mulia dikata
Limpah rahmat terang cuaca
Berkat Mohammad penghulu kita
Lalah penghulu alam pendeta
Al rahman itu sifat yang sani
Maknanya murah amat mengasihani
Kepada muimin hati nurani
Di situlah tempat mengasihani
Al rahim itu pengasihan kita
Kepada Allah puji semata
Itulah Tuhan yang amat nyata
Memberi hambanya berkata-kata
Dengarkan tuan suatu rencana
Dikarang oleh dagang yang hina
Sajaknya janggal banyak tak kena
Daripada akal belum sempurna

3. Mantra
Mantra adalah rangkaian kata yang mengandung rima dan irama yang dianggap mengandung kekuatan gaib. Mantra biasanya diucapkan oleh seorang dukun atau pawang untuk melawan atau menandingi kekuatan gaib lainnya. Namun, hakikat mantra itu sendiri adalah doa yang diucapkan oleh seorang pawang dalam keadaan trance ‘kerasukan’. Di dalam mantra yang penting bukan makna kata demi kata, melainkan kekuatan bunyi yang bersifat sugestif. Karakteristik mantra sangat unik. Menurut Umar Junus (1983: 135), ciri-ciri mantra adalah sebagai berikut.
1. Di dalam mantra terdapat rayuan dan perintah.
2. Mantra mementingkan keindahan bunyi atau permainan bunyi.
3. Mantra menggunakan kesatuan pengucapan.
4. Mantra merupakan sesuatu yang utuh, yang tidak dapat dipahami melalui bagian-bagiannya.
5. Mantra sesuatu yang tidak dipahami oleh manusia karena merupakan sesuatu yang serius.
6. Dalam mantra terdapat kecenderungan esoteris (khusus) dari kata-katanya.
Sebagai contoh marilah kita perhatikan mantra berikut ini, yang biasa diucapkan pawang ketika mengusir anjing galak.
Pulanglah engkau kepada rimba sekampung,
Pulanglah engkau kepada rimba yang besar,
Pulanglah engkau kepada gunung guntung,
Pulanglah engkau kepada sungai yang tiada berhulu,
Pulanglah engkau kepada kolam yang tiada berorang,
Pulanglah engkau kepada mata air yang tiada kering,
Jikalau kau tiada mau kembali, matilah engkau.

Kita memahami dan belajar membuat mantra bukan karena kemanjuran daya gaibnya sebab anggapan seperti itu terdapat dalam keyakinan dan kepercayaan nenek moyang kita dahulu. Kini kita mempelajarinya sebagai kegiatan kreatif dalam penulisan puisi.

0 Response to "Mengembangkan Ide dengan Menulis Puisi Lama"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Klik salah satu Link di Bawah ini, untuk menutup BANNER ini...