Latest News

Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Berdasarkan beberapa prasasti yang ditemukan serta berita dari Cina dan Arab dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Sriwijaya berdiri pada akhir abad ke- 7. Berdasarkan berita dari Cina yang dibuat pada masa Dinasti T’ang disebutkan bahwa di pantai timur Sumatra Selatan telah berdiri sebuah kerajaan yang disebut She-li-fo-she. Nama kerajaan itu diidentikkan dengan Sriwijaya. Pendeta Buddha dari Cina, I Tsing juga pernah singgah di Sriwijaya dalam perjalanannya ke India pada tahun 671 M. I Tsing datang lagi ke Sriwijaya pada tahun 685 M untuk menerjemahkan kitab suci agama Buddha selama empat tahun di bawah bimbingan Sakyakirti. Jadi, pada abad ke-7 Sriwijaya telah berkembang menjadi pusat kegiatan ilmiah agama Buddha di Asia Tenggara. Sekitar tahun 692 M Sriwijaya telah mampu menaklukkan Melayu dan Tarumanegara. Hal itu diperkuat dengan adanya keterangan pada lima prasasti yang dikeluarkan Raja Sriwijaya yang ditulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa Melayu Kuno.........

Prasasti tertua tentang Sriwijaya ditemukan di Kedukan Bukit, tepi Sungai Tatang dekat Palembang. Prasasti itu berangka tahun 683 M dan terdiri atas 10 baris kalimat. Prasasti itu berisi cerita bahwa pada tahun 683 M ada orang besar bernama Dapunta Hiyang mengadakan perjalanan suci (siddhayatra) dengan membawa 20.000 tentara berangkat dari Minangatamwan naik perahu. Sementara itu, tentara sebanyak 1.312 berjalan darat datang di Melayu dan akhirnya membuat Kerajaan Sriwijaya.

Isi Prasasti Kedukan Bukit yang patut disangsikan adalah jumlah tentara yang mencapai angka 20.000. Benarkah jumlah tersebut? Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk pada waktu itu yang belum banyak, kiranya angka 20.000 itu bukan jumlah yang sebenarnya, melainkan hanya untuk menunjukkan betapa banyaknya tentara yang dikirim sehingga sulit dihitung. Hal itu diperkuat oleh isi Prasasti Kedukan Bukit pada baris ke-6 yang menyebutkan bahwa 200 orang menggunakan perahu dan 1.312 berjalan di darat. Berdasarkan isi Prasasti Kedukan Bukit itu, Prof. Dr. Purbacaraka menyimpulkan bahwa Dapunta Hyang berasal dari Minangkabau. Jika hal itu benar, Sriwijaya berdiri sekitar tahun 685 karena pada tahun 670–673 Sriwijaya tidak mengirimkan utusan ke Cina.

Prasasti berikutnya ditemukan di Talang Tuo, dekat Palembang. Prasasti itu terdiri atas 14 baris kalimat dan berangka tahun 606 Saka atau 684 M. Prasasti itu menyebutkan bahwa atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayanaga telah dibuat taman yang disebut Srikesetra untuk kemakmuran semua makhluk. Di samping itu, juga ada doa-doa yang bersifat Buddha Mahayana.

Prasasti lainnya ditemukan di Kotakapur, Bangka, dan Karang Berahi (Jambi Hulu). Kedua prasasti itu berangka tahun 686 M dan sebagian besar isinya sama, yaitu memohon kepada dewa agar menjaga keamanan dan keselamatan Sriwijaya beserta rajanya serta menghukum setiap orang yang bermaksud jahat dan mendurhakai kekuasaan Sriwijaya. Isi prasasti yang paling menarik adalah pada baris ke-10 yang berbunyi, “Sumpah ini dipahat di batasnya kekuasaan Sriwijaya yang sangat berusaha menaklukkan bumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.” Dari prasasti itu jelas bahwa Sriwijaya memang berusaha keras memperluas kekuasaannya dengan menundukkan kerajaan di sekitarnya, seperti Melayu, Tulangbawang, dan Tarumanegara (Bumi Jawa) sehingga pada waktu itu tidak sempat mengirimkan utusannya ke Cina. Prasasti yang ke-5 ditemukan di Palas Pasemah, Lampung Selatan. Prasasti itu menyebutkan bahwa daerah Lampung Selatan pada waktu itu sudah diduduki Sriwijaya. Raja Sriwijaya menjatuhkan kutukan yang seram bagi mereka yang melakukan kejahatan dan tidak taat terhadap perintahnya.

a. Bidang Politik
Zaman keemasan Sriwijaya terwujud pada abad ke-8 dan ke-9 ketika diperintah Balaputradewa. Menurut Prasasti Ligor (775 M), Sriwijaya saat itu diperintah oleh Raja Dharmasetu dan telah mendirikan pangkalan di Semenanjung Malaya (daerah Ligor). Prasasti itu juga menyebutkan seorang raja yang bernama Wisnu dari keluarga Syailendra. Nama raja itu dijumpai pada prasasti (Jawa Tengah) dengan nama Sanggramadananjaya (Dananjaya atau Wisnu). Berdasarkan Prasasti Nalanda (India) diketahui bahwa Balaputradewa adalah cucu seorang raja dari Jawa yang berasal dari keluarga Syailendra (Sri Wirawairimathana). Ayahnya bernama Samaragrawira atau Samaratungga yang kawin dengan Dewi Tara putri dari Raja Dharmasetu (Sriwijaya). Samaratungga memerintah tahun 824 M.

Dinasti Syailendra terdesak oleh Dinasti Sanjaya. Balaputradewa yang merupakan keturunan Dinasti Syailendra melarikan diri ke Sriwijaya dan bertakhta menjadi raja. Sejak pemerintahan Dharmasetu, Sriwijaya berhasil membangun negaranya menjadi besar. Dengan armada laut yang kuat, Sriwijaya berhasil menguasai jalur-jalur perdagangan antara India dan Cina, baik di Selat Malaka, Selat Sunda, maupun di Semenanjung Malaya dan Tanah Genting Kra. Sejak saat itu, Sriwijaya tumbuh menjadi kerajaan maritim yang besar di Asia Tenggara dan menguasai perdagangan laut.

1) Hubungan Sriwijaya dengan Kerajaan Pala
Berdasarkan sebagian isi Prasasti Nalanda disebutkan bahwa setelah naik takhta, Balaputradewa segera menjalin hubungan dengan Kerajaan Pala yang diperintah oleh Raja Dewapala. Hubungan itu mengandung tiga maksud, yaitu:
a) membentengi Kerajaan Sriwijaya agar lebih kuat;
b) meningkatkan hubungan perdagangan;
c) memperdalam pengetahuan agama Buddha karena di India telah berdiri Perguruan Tinggi Nalanda.

Karena hubungan baik itu, banyak biksu dari Sriwijaya yang belajar di Nalanda. Untuk keperluan itulah, Raja Dewapala berkenan memberikan hadiah tanah kepada Balaputradewa untuk pembangunan wihara. Wihara itu digunakan bagi kepentingan para peziarah dari Suwarnadwipa (Sumatra) yang sedang belajar agama Buddha dan pengetahuan lainnya di Nalanda. Setelah menyelesaikan pelajarannya di Nalanda, para biksu pulang dan mengajarkan ilmunya di Sriwijaya. Oleh karena itu, Sriwijaya tumbuh menjadi pusat pengajaran agama Buddha terbesar di Asia Tenggara. Ini terbukti dengan datangnya pendeta Buddha dari Tibet bernama Atisa pada tahun 1011–1023 untuk memperdalam agama Buddha di bawah asuhan pendeta tertinggi di Sriwijaya, yaitu Dharmakirti.

2) Hubungan Sriwijaya dengan Kerajaan Colamandala
Sampai kapan Balaputradewa memerintah, tidak ada bukti-bukti tertulis yang menjelaskan. Akan tetapi, pada tahun 990 Sriwijaya diserang oleh Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur. Pada waktu itu Sriwijaya dipimpin Sri Cudamaniwarmadewa. Setelah raja itu mangkat, digantikan oleh putranya, yaitu Marawijayottunggawarman. Ia mengaku keturunan Raja Syailendra. Ia tidak mau mengakui kekuasaan Dharmawangsa. Untuk memperkuat kedudukannya, ia menjalin hubungan dengan Kerajaan Colamandala (India Selatan) yang saat itu diperintah oleh Rajakesariwarman Raja-Raja I.

Hubungan Sriwijaya dengan Kerajaan Colamandala itu berjalan baik sehingga Raja Sriwijaya oleh Raja Colamandala diperbolehkan mendirikan wihara di daerah Nagipattana pada tahun 1006. Berkat kerja sama dengan Colamandala, kekuasaan dan kewibawaan Sriwijaya pulih sehingga dapat menguasai kembali jalur perdagangan India–Cina melalui Selat Malaka. Dalam perkembangan selanjutnya, kebesaran Sriwijaya dianggap menyaingi dan merugikan perdagangan Colamandala. Sejak saat itu, hubungan kedua kerajaan mulai retak, bahkan berubah menjadi permusuhan. Ketegangan itu terjadi ketika Kerajaan Colamandala diperintah oleh Rajendracoladewa dan Sriwijaya diperintah oleh Sri Sanggramawijayottunggawarman.

Pada tahun 1023 Sriwijaya dan Kedah diserang oleh Rajendracoladewa dan diulangi lagi pada tahun 1030. Raja Sriwijaya dapat ditawan. Hal itu diterangkan oleh Prasasti Tanjore yang berangka tahun 1030. Serangan Rajendracoladewa itu tidak bermaksud untuk menduduki dan menjajah Sriwijaya. Namun, serangan itu hanya untuk menghancurkan kekuasaan laut Sriwijaya. Tujuannya, agar India dapat menguasai lagi jalur perdagangannya dengan Cina melalui Selat Malaka dan Selat Sunda.

3) Hubungan Sriwijaya dengan Cina
Sriwijaya juga menjalin hubungan dengan Negeri Cina. Sriwijaya sering mengirim utusannya kepada Kaisar Cina dengan membawa berbagai macam hadiah. Hal itu dimaksudkan agar Kaisar Cina tidak menyerang Sriwijaya. Para pendeta Buddha dari Cina pun banyak yang belajar agama Buddha di Sriwijaya, misalnya I Tsing. Raja Sriwijaya, bahkan pada abad ke-9 mengirimkan utusannya ke Cina untuk ikut serta memperbaiki Kuil Taqist di Kanton. Dengan hubungan diplomasi yang baik, Sriwijaya ternyata dapat terhindar dari kemungkinan serbuan pasukan Cina.

b. Bidang Sosial Budaya
Kerajaan Sriwijaya karena letaknya yang strategis dalam lalu lintas perdagangan internasional menyebabkan masyarakatnya lebih terbuka dalam menerima berbagai pengaruh asing. Masyarakat Sriwijaya juga telah mampu mengembangkan bahasa komunikasi dalam dunia perdagangannya. Kemungkinan bahasa Melayu Kuno telah digunakan sebagai bahasa pengantar terutama dengan para pedagang dari Jawa Barat, Bangka, Jambi, dan Semanjung Malaysia.

Penduduk Sriwijaya juga bersifat terbuka dalam menerima berbagai kebudayaan yang datang. Salah satunya adalah mengadopsi kebudayaan India, seperti nama-nama India, adat istiadat, serta tradisi dalam agama Hindu. Oleh karena itu, Sriwijaya pernah menjadi pusat pengembangan ajaran Buddha di Asia Tenggara.

c. Bidang Ekonomi
Untuk menjaga keamanan wilayah lautnya yang luas, Sriwijaya membangun armadanya dengan kuat. Dengan demikian, perdagangan yang berlangsung di Sriwijaya dapat berjalan aman sehingga rakyatnya dapat hidup aman dan makmur. Sebagian besar penduduk Sriwijaya hidup dari hasil perdagangan dan pelayaran. Dari wilayah lautnya yang luas, Sriwijaya banyak memperoleh bea cukai dari kapal-kapal dagang yang melintasi atau singgah di pelabuhan milik Sriwijaya. Sriwijaya menjual barang-barang produksinya, seperti emas, perak, gading, penyu, kemenyan, kapur barus, lada, dan damar. Para pedagang asing dapat menukarnya dengan aneka porselin, kain katun, dan sutra. Kemajuan pesat dari Kerajaan Sriwijaya selain karena rajanya cakap, gagah berani, dan bijaksana, juga didukung oleh faktor yang menguntungkan. Faktor-faktor itu, antara lain sebagai berikut.
1) Letaknya strategis berada pada jalur perdagangan India–Cina.
2) Sriwijaya telah menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, Semenanjung Malaya, dan Tanah Genting Kra sebagai pusat perdagangan.
3) Hasil bumi Sriwijaya dan sekitarnya sebagai mata perdagangan yang berharga, terutama rempah-rempah dan emas tersedia banyak.
4) Armada lautnya kuat sehingga mampu menjalin hubungan dan kerja sama dengan Kerajaan India dan Cina.

5) Pendapatan Sriwijaya melimpah ruah yang berasal dari:
a) bea cukai barang dagangan yang keluar-masuk,
b) bea cukai kapal asing yang melalui bandarnya,
c) upeti para pedagang dan raja taklukan, dan
d) hasil bumi serta hasil perdagangan sendiri.

Menurut berita dari Cina (Chau-Yu-Kua), Kerajaan Sriwijaya mengalami masa kemunduran pada akhir abad ke-12. Hal itu dikuatkan oleh kitab sejarah dari Dinasti Sung yang menyatakan bahwa Sriwijaya mengirimkan utusannya yang terakhir pada tahun 1178. Penyebab kemunduran Sriwijaya, antara lain sebagai berikut.
1) Berulang kali diserang oleh Kerajaan Colamandala dari India.
2) Kerajaan taklukan Sriwijaya banyak yang melepaskan diri dari kekuasaannya, misalnya Ligor, Tanah Kra, Kelantan, Pahang, Jambi, dan Sunda.
3) Terdesak oleh perkembangan kerajaan di Thailand yang meluaskan pengaruhnya ke arah selatan (Semenanjung Malaya).
4) Terdesak pengaruh Kerajaan Singasari yang menjalin hubungan dengan Kerajaan Melayu (Jambi).
5) Mundurnya perekonomian dan perdagangan Sriwijaya karena bandarbandar pentingnya sudah melepaskan diri dari Sriwijaya.
6) Kemungkinan juga tidak adanya tokoh yang cakap dan berwibawa untuk memimpin kerajaan sebagai akibat dari kurangnya pengaderan.

Kejayaan Kerajaan Sriwijaya meliputi :
a. Bidang Politik
Kerajaan Sriwijaya bukan lagi merupakan negara senusa. Artinya, Sriwijaya bukan merupakan negara yang berkuasa atas sebuah pulau, seperti Kutai, Tarumanegara, atau Kaling, melainkan sudah merupakan negara antarnusa. Artinya, negara yang wilayahnya terdiri atas beberapa pulau. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Sriwijaya adalah negara nasional pertama Indonesia.
b. Bidang Ekonomi
Kerajaan Sriwijaya menguasai perdagangan nasional dan internasional di wilayah perairan Asia Tenggara. Perairan Laut Natuna, Selat Malaka, Laut Jawa, dan Selat Sunda berada di bawah kekuasaannya.
c. Bidang Agama
Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha Mahayana di wilayah Asia Tenggara. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Dharmakirti......

0 Response to "Sejarah Kerajaan Sriwijaya"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Klik salah satu Link di Bawah ini, untuk menutup BANNER ini...