Sejak abad ke-16 bangsa-bangsa Eropa mulai berdatangan di wilayah Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Mereka itu, antara lain bangsa Portugis (Portugal), Spanyol, Belanda, dan Inggris. Namun, mereka yang semula berdagang secara baik-baik akhirnya melakukan monopoli perdagangan dan penjajahan atas wilayah Nusantara. Oleh karena itu, bangsa Indonesia tidak dapat leluasa lagi dalam melakukan aktivitas kehidupannya, baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, maupun sosial budaya:.......
Untuk membebaskan diri dari cengkeraman bangsa-bangsa Eropa tersebut, bangsa Indonesia berjuang dan berperang mengusir penjajah. Kita tentu ingat betapa gagah beraninya perlawanan Pattimura, Imam Bonjol, Teuku Umar, Diponegoro, Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Untung Surapati. Perlawanan di daerah-daerah tersebut belum berhasil mengusir penjajah dari wilayah Nusantara. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut.
a. Perjuangan dan perlawanan mereka masih bersifat kedaerahan. Artinya, mereka berjuang hanya demi daerahnya sendiri-sendiri.
b. Belum dibentuk organisasi dan koordinasi secara modern sehingga perjuangan itu berjalan sendiri-sendiri tanpa ada kerja sama.
c. Perjuangan daerah sangat bergantung pada pemimpinnya. Jika pemimpin mereka tertangkap, menyerah, atau gugur, perjuangan berhenti.
Mengingat pengalaman masa lampau, maka sejak tahun 1908 bangsa Indonesia berjuang dengan cara baru, yaitu dengan melalui organisasi Pergerakan Nasional (Pergerakan Kebangsaan). Pergerakan Nasional adalah pergerakan bangsa Indonesia yang meliputi segala macam aksi yang dilakukan dengan organisasi secara modern ke arah perbaikan hidup untuk Indonesia.
Gerakan tersebut meliputi semua bidang, antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, dan pendidikan. Dalam hal ini, nasional atau kebangsaan mengandung arti menyeluruh bagi suku-suku bangsa di Indonesia tanpa memandang derajat, pangkat, kekayaan, pendidikan, suku, adat, ras, dan agamanya.
Timbulnya Pergerakan Nasional di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh beberapa faktor berikut ini.
a. Pendidikan
Sistem Tanam Paksa yang dilaksanakan di Indonesia telah memberi keuntungan yang melimpah kepada Belanda. Demikian juga sistem usaha swasta telah memberi keuntungan yang sangat besar bagi Belanda. Sebaliknya, rakyat Indonesia menjadi miskin, menderita, dan sengsara. Sehubungan dengan tragedi kemiskinan rakyat Indonesia, pada akhir abad ke-19 itu muncullah kritik-kritik tajam kepada pemerintah kolonial Belanda. Kritik tentang pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Indonesia itu di antaranya dilancarkan oleh Baron van Hoevell dan Theodore van Deventer. Van Deventer menyusun program yang perlu dilaksanakan di Indonesia dalam rangka membalas budi. Caranya dengan meningkatkan kehidupan bangsa Indonesia. Program tersebut disebut Trias van Deventer, antara lain berisi:
1) irigasi (pengairan) dengan membangun bendungan-bendungan dan irigasi;
2) emigrasi (pemindahan penduduk);
3) edukasi (pendidikan) dengan mendirikan sekolah-sekolah.
Trias van Deventer disebut juga Politik Balas Budi atau Politik Etis. Program van Deventer didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan, agama, sosial, dan demokrasi. Gagasan Van Deventer disetujui oleh parlemen Belanda dan dibawa ke Indonesia untuk dilaksanakan.
Pelaksanaan Politik Etis kurang berhasil memperbaiki nasib bangsa Indonesia sebab pelaksanaannya lebih banyak dimanfaatkan oleh kaum penanam modal swasta asing. Bangsa Indonesia tetap hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan. Pelaksanaan pendidikan dengan tujuan untuk mencetak tenaga administrasi rendahan dengan gaji yang murah. Migrasi/perpindahan penduduk Jawa ke luar Jawa hanya untuk memenuhi tenaga perkebunan milik Belanda. Sedangkan irigasi hanya untuk mengairi perkebunan-perkebunan milik Belanda sendiri. Meskipun demikian, pelaksanaan Politik Etis membawa pengaruh yang cukup besar bagi bangsa Indonesia, terutama dalam pengembangan pendidikan. Akibat Politik Etis, sejak tahun 1900 di Indonesia telah berdiri beberapa sekolah yang pada waktu itu dibedakan dalam dua tingkatan. Sekolah angka satu dengan pelajaran membaca, menulis dan berhitung diperuntukkan bagi anak pegawai negeri dan orang kaya. Anak dari rakyat biasa tidak boleh masuk di sekolah itu. Sekolah jenis itu hanya ada di ibu kota karesidenan, kabupaten, kawedanan, atau di kota-kota pusat perdagangan dan kerajinan. Jenis sekolah yang lebih rendah adalah sekolah angka dua yang diperuntukkan bagi anak pribumi pada umumnya dengan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung.
Pada tahun 1914, sekolah dasar utama dijadikan HIS (Holandsch Inlandsche School) dengan lama pendidikan tujuh tahun. Sekolah angka dua mempunyai lama pendidikan lima tahun (SD 5 tahun). Pada jenjang SMP didirikan sekolah MULO (Meet Uitgebreid Lager Onderwijs) yang merupakan kelanjutan dari HIS dan Sekolah Rendah Belanda. Murid-murid lulusan sekolah angka dua tidak dapat melanjutkan ke sekolah MULO. Pada jenjang SMA didirikan AMS (Algemene Middelbare School) yang terdiri atas jurusan ilmu pasti dan ilmu sastra. AMS sederajat dengan HBS (Hogere Burgere School), yaitu sekolah menengah atas untuk anak-anak Belanda.
Beberapa perguruan tinggi juga telah didirikan, misalnya:
1) Sekolah Tinggi Hukum di Batavia (Jakarta);
2) Sekolah Tinggi Kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di Batavia (Jakarta);
3) Sekolah Tinggi Pertanian di Bogor;
4) Sekolah Tinggi Teknik di Bandung (sekarang ITB).
Berdirinya sekolah-sekolah tersebut, melahirkan kelompok baru dalam masyrakat yang disebut kaum terpelajar (golongan cendekiawan). Golongan cendekiawan ini menyadari nasib bangsanya yang menderita akibat penjajahan. Oleh karena itu, mereka bangkit membentuk kekuatan sosial baru dan berjuang memperbaiki nasib bangsa Indonesia. Mereka berjuang untuk mencapai kemerdekaan nasional melalui gerakan yang dikenal dengan nama Pergerakan Nasional. Dalam Pergerakan Nasional tersebut para cendekiawan mendirikan berbagai organisasi nasional, baik yang bergerak dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Organisasi tersebut pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu mencapai kemerdekaan Indonesia.
b. Diskriminasi
Di dalam pergaulan masyarakat kolonial berlaku diskriminasi ras yang membedakan antara penduduk berkulit putih dan penduduk berkulit sawo matang. Perbedaan warna kulit digunakan untuk membatasi hak dan kewajiban dalam hukum dan pendidikan bagi orang pribumi. Diskriminasi ras harus dijaga dan dilakukan secara ketat guna menjaga kewibawaan pemerintah kolonial. Akibatnya, di satu pihak timbul perasaan harga diri yang tinggi pada orang kulit putih, di pihak lain terjadi perasaan rendah diri pada orang pribumi. Keadaan semacam itu harus dibuang jika ingin memperoleh kemajuan.
Ciri masyarakat kolonial pada dasarnya terdapat hubungan yang tidak seimbang antara penjajah dan terjajah. Ada lima ciri utama yang menjadi dasar hubungan kolonial, yaitu:
1) perbedaan warna kulit;
2) kedudukan politik penduduk yang terjajah;
3) ketergantungan ekonomi;
4) rendahnya kesejahteraan sosial penduduk;
5) kurangnya kontak sosial antara penguasa dan yang dikuasai.
Keadaan demikian menimbulkan serangkaian penolakan yang diwujudkan dalam bentuk organisasi Pergerakan Nasional. Penolakan terhadap hubungan kolonial disebut nasionalisme yang memiliki unsur-unsur kebangunan politik, ekonomi, sosial, kultural, dan religius. Sehubungan dengan lahirnya Budi Utomo yang dianggap sebagai manifestasi lahirnya jiwa nasionalisme maka jelas kiranya bahwa kekuatan dari dalam masyarakat itu sendiri yang memberi kekuatan dan diskriminasi rasial itulah yang memberi corak nasionalisme Indonesia.
Situasi penjajahan Belanda di Indonesia menimbulkan diskriminasi berdasarkan ras atau warna kulit dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam bidang sosial ekonomi, terjadi perbedaan yang mencolok antara golongan Barat dan golongan pribumi. Golongan Barat berada dalam status sosial ekonomi atas dan hidupnya berkecukupan, sedangkan golongan pribumi berada dalam status sosial ekonomi dan rendah, hidup miskin, dan menderita. Dalam bidang politik pemerintahan juga terjadi diskriminasi antara pemerintah Belanda dan yang diperintah (pribumi). Kalaupun ada golongan pribumi yang menjadi pegawai negeri atau pamong praja hanyalah sebagai alat pemerintah kolonial dan selalu dibatasi kekuasaannya. Adanya diskriminasi berdasarkan ras mengakibatkan jarak antara golongan Barat (Belanda) dan golongan pribumi menjadi makin lebar.
Para pelopor Politik Etis berupaya menciptakan hubungan yang harmonis antara pemerintahan Belanda dan golongan pribumi melalui penerapan Politik Asosiasi. Tujuannya untuk mencapai kesatuan pandangan antara pemerintah dan rakyat pribumi. Kenyataannya, para intelektual produk kolonial tidak selamanya berjalan bergantung dengan pemerintah kolonial. Banyak sekali dari mereka yang berbalik memberikan reaksi terhadap kebijaksanaan itu. Akhirnya, mereka terpanggil untuk ikut memimpin Pergerakan Kebangsaan. Politik Asosiasi bertujuan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara Belanda dan kaum pribumi, seperti harapan para pelopor Politik Etis yang tidak dapat terwujud. Diskriminasi berdasarkan ras dalam sistem kolonial mendorong tumbuhnya Pergerakan Nasional Indonesia.
c. Pengaruh Paham Baru
Revolusi yang terjadi di Eropa pada abad ke-19 membawa perubahan bagi negara terjajah di Asia, termasuk Indonesia. Hal itu menyebabkan munculnya suatu golongan baru dalam masyarakat yang mempunyai pandangan dan gagasan lain dalam mengantarkan rakyat Indonesia ke gerbang pembebasan diri dari belenggu penjajahan. Lapisan baru yang menjadi elite nasional mulai menyadari bahwa perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh setiap daerah dengan caranya sendiri dan dengan perlengkapan yang terbelakang tidak mungkin akan berhasil.
Terjadinya kebangkitan nasional tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Faktor dari dalam negeri yang menimbulkan kebangkitan nasional adalah pelaksanaan Politik Etis yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda yang memungkinkan masuknya ide-ide Barat dan pengaruh pembaruan di dalam Islam. Faktor dari luar negeri yang ikut mendorong lahirnya Pergerakan Nasional adalah sebagai berikut.
1) Kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905 telah membangkitkan semangat bangsa Asia pada umumnya dan bangsa Indonesia pada khususnya untuk melenyapkan penjajahan.
2) Revolusi Cina di bawah kepemimpinan Dr. Sun Yat Sen berhasil menggulingkan pemerintahan Dinasti Manchu dan menjadikan Negeri Cina kembali menjadi negara merdeka (1912).
3) Gerakan Turki Muda di bawah pimpinan Mustafa Kemal Pasha berhasil menjadikan negerinya yang terbelakang menjadi negara maju dan modern. Hal ini menjadi cermin perjuangan golongan muda Indonesia.
Pengaruh gagasan modern menjadikan anggota elite nasional menyadari bahwa perjuangan untuk memajukan bangsa Indonesia harus dilakukan dengan menggunakan organisasi modern. Oleh karena itu, lahirlah Pergerakan Nasional yang dipelopori oleh organisasi Budi Utomo.........
0 Response to "Perkembangan Pergerakan Kebangsaan di Indonesia dan Faktor Lahirnya Pergerakan Nasional"