Perilaku Masyarakat sebagai Dampak Perubahan Sosial
Sebagai dampak perubahan sosial, masyarakat akan bersikap dan berperilaku sesuai dengan tuntutan perubahan tersebut. Meskipun terjadi perubahan sosial, tetapi masyarakat pada umumnya tetap mengharapkan adanya kestabilan atau keseimbangan dan harmonisasi dalam kehidupan masyarakat. Keseimbangan dalam masyarakat merupakan situasi yang menjadi harapkan setiap masyarakat. Keseimbangan ini dimaksudkan sebagai situasi dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok dari masyarakat berfungsi pada tempatnya.
Dalam kondisi yang demikian, individu akan merasakan ketenteraman karena tidak ada benturan dalam norma dan nilai-nilai. Jika muncul gangguan terhadap situasi tenteram tersebut, maka masyarakat dapat menolaknya, atau merubah susunan pranata kemasyarakatan untuk menerima suatu unsur yang baru. Namun demikian, masuknya unsur-unsur baru tersebut dipaksakan oleh suatu kekuatan. Ketika masyarakat tidak dapat menolaknya, oleh karena masuknya unsur-unsur baru tersebut tidak menimbulkan kegoncangan, namun pengaruhnya akan tetap ada, namun tidak membahayakan hakikat norma yang ada. Norma-norma dan nilai-nilai sosial tidak akan terpengaruh, dan dapat berfungsi secara wajar. Adapun perilaku masyarakat sebagai dampak perubahan sosial ditunjukkan dengan sikap-sikap sebagai berikut.
1. Penyesuaian atau Adaptasi
Apabila ada stimulus, maka akan menimbulkan respon. Demikian juga ketika terjadi perubahan sosial, maka akan ada sikap-sikap dan perilaku dari masyarakat yang terkena perubahan tersebut, baik yang dengan sengaja menyesuaikan, menerima, menyaring, maupun yang menolaknya. Pada praktiknya, terdapat dua kecenderungan perilaku masyarakat sebagai akibat adanya perubahan sosial budaya. Kedua kecenderungan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Adjustment (Penyesuaian)
Penyesuaian merupakan sikap masyarakat yang cenderung mengadaptasikan diri, dimana ketika terjadi ketidakseimbangan dalam masyarakat dapat dipulihkan kembali setelah terjadi suatu perubahan. Karakteristik masyarakat yang seperti ini merupakan karakter masyarakat yang lentur atau tidak kaku, sehingga dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan. Dalam pandangan mereka, perubahan tidak untuk dihindarkan apalagi ditolak, melainkan memerlukan kearifan lokal sehingga dapat menyikapinya dengan bijaksana. Mengingat adanya dua sisi, yakni positif dan negatif, maka masyarakat yang dapat menyesuaikan dengan perubahan harus dapat mengambil sisi positif untuk kemaslahatan kehidupannya.
Penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan sosial juga dapat dibedakan menjadi dua kriteria, yaitu penyesuaian individu dan penyesuaian lembaga-lembaga kemasyarakatan.
1) Penyesuaian Individu
Penyesuaian ini bersifat individual sebagai reaksi seseorang terhadap perubahan sosial. Penyesuaian ini menunjuk kepada upayaupaya perorangan untuk menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah diubah atau diganti, agar terhindar dari disorganisasi psikologis. Dikenalnya kehidupan dan praktik ekonomi yang berasal dari Barat, menyebabkan semakin pentingnya peranan pranata ekonomi sebagai lembaga produksi, distribusi, maupun konsumsi.
Dengan demikian, orang-perorangan, agar tidak mengalami tekanan psikologis, harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Misalnya, perubahan-perubahan dalam bidang pemerintahan dan administrasi yang menuju ke arah demokrasi. Dengan adanya perubahan tersebut, individu berusaha untuk mendapat pendidikan yang lebih tinggi sebagai bekal hidup dalam suasana yang demokratis, dimana kemampuan yang merupakan unsur terpenting untuk dapat bertahan dan menyesuaikan diri dengan perubahan. Apabila tidak mempunyai bekal pendidikan dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, maka individu yang demikian hanya akan menjadi “budak” dari perubahan. Individu yang bersangkutan tidak memiliki identitas diri karena tidak mampu melakukan penyesuaian. Akan lain dengan mereka yang dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru, maka eksistensinya dalam masyarakat akan dominan.
2) Penyesuaian Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan
Suatu situasi, dimana masyarakat berhasil menyesuaikan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada dengan keadaan yang mengalami perubahan sosial dan kebudayaan. Penyesuaian yang demikian dinamakan sebagai penyesuaian lembaga.
b. Maladjustment (Ketidakpenyesuaian Sosial)
Maladjusment adalah kebalikan dari adjustment, dimana masyarakat tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang memungkinkan terjadinya anomie. Kemampuan dan ketidakmampuan masyarakat dalam menyesuaikan diri, adakalanya diakibatkan oleh adanya pertentangan antara unsur baru dengan unsur lama, dan secara bersamaan mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang kemudian berpengaruh pula terhadap warga masyarakat.
2. Disintegrasi dan Reintegrasi
a. Disintegrasi
Dampak perubahan sosial yang destruktif adalah munculnya perpecahan di kalangan masyarakat. Perpecahan dalam konsep umum disebut dengan istilah disintegrasi. Disintegrasi merupakan suatu keadaan dimana tidak ada suatu keserasian pada bagian-bagian dari satu kebulatan. Disintegrasi dapat dirumuskan sebagai suatu proses berpudarnya normanorma dan nilai-nilai dalam masyarakat, hal mana disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Contohnya, ketika dalam lembaga pemerintahan yang sebelumnya bersifat otoriter, kemudian karena adanya suatu revolusi maka berubah menjadi demokratis, maka untuk sementara waktu terjadi disintegrasi antara pihak-pihak yang mempertahankan sistem otoriter dengan pihak-pihak yang menghendaki sistem demokrasi. Padahal sebelumnya, mereka merupakan suatu kebulatan lembaga. Apabila tidak cepat dilakukan upaya penyelesaian oleh pihakpihak terkait, maka akan menimbulkan disintegrasi fisik yang menyeret pada situasi peperangan.
b. Reintegrasi
Adanya kesadaran masyarakat untuk menyatukan pandangan terhadap berbagai perubahan merupakan sutau proses reintegrasi. Dengan demikian, reintegrasi adalah suatu proses pembentukan normanorma dan nilai-nilai yang baru untuk menyesuaikan diri dengan lembagalembaga kemasyarakatan yang telah mengalami perubahan. Tahap reintegrasi dilakukan apabila norma-norma dan nilai-nilai yang baru telah melembaga dalam diri warga-warga masyarakat.
Sebagai contoh, disintegrasi yang terjadi pada petani desa di Jawa yang pindah ke kota-kota untuk mencari penghidupan di kota. Di daerah asalnya, mereka merupakan bagian dari masyarakat yang masih tradisional. Sedangkan di kota, mereka dihadapkan pada masyarakat modern yang memiliki pola kehidupan yang berbeda. Muncullah disintegrasi norma-norma dan nilai-nilai yang terjadi pada individu yang mengalami perubahan keadaan sosial budaya tersebut. Adapun sikap dari individu tersebut, dapat menolak ataupun menerima keadaan masyarakan baru yang hendak ia tempati. Ketika disintegrasi terjadi dengan sangat cepat, misalnya karena adanya revolusi, maka akan muncul hal-hal yang sulit untuk dikendalikan.
Dalam keadaan yang demikian reintegrasi tidak dapat terjadi dengan cepat, oleh karena terlebih dahulu harus menyesuaikan diri dengan masyarakat. Dalam situasi ini, akan terjadi suatu keadaan dimana norma-norma yang lama sudah hilang karena disintegrasi tadi, sementara norma-norma baru belum terbentuk. Hal ini menimbulkan krisis norma dan nilai dalam masyarakat. Dalam kondisi demikian, akan dijumpai suatu anomie, yaitu suatu keadaan dimana tidak ada pegangan terhadap apa yang baik dan apa yang buruk, sehingga anggota-anggota masyarakat tidak mampu untuk mengukur tindakan-tindakannya, oleh karena batas-batas tidak ada. Anomie tersebut dapat pula terjadi pada waktu disintegrasi meningkat ke tahap reintegrasi.
3. Penolakan dan Penerimaan Perubahan Sosial
Kalian pasti mengalami juga adanya perubahan dalam lingkungan masyarakat kalian. Terkadang, adanya perubahan tidak disadari oleh masyarakat, sehingga secara tidak sadar pula masyarakat telah berubah dalam tatanan baru. Tetapi apabila perubahan menyangkut hal yang mendasar, terutama yang terkait dengan norma-norma yang berlaku, maka perubahan tersebut akan mengalami hambatan. Itu artinya masyarakat dapat menerima atau tidak terhadap perubahan tersebut. Dengan demikian, tidak semua perubahan diterima dengan baik oleh masyarakat, melainkan ada pula yang ditolak. Menurut Spicer, suatu perubahan akan mengalami penolakan apabila dalam prosesnya perubahan tersebut mengalami hal sebagai berikut.
a. Perubahan itu dipaksakan oleh pihak lain yang menghendaki perubahan, sementara masyarakat setempat menolaknya.
b. Perubahan sosial budaya yang tidak sejalan dengan norma yang berlaku dan tidak dipahami oleh masyarakat.
c. Perubahan sosial budaya tersebut dinilai sebagai ancaman terhadap nilainilai yang ada dalam masyarakat setempat.
Dengan demikian, telah berlaku proses penerimaan selektif, karena beberapa perubahan diterima dengan beberapa penyesuaian lainnya memerlukan penundaan yang lama, ada perubahan yang ditolak sepenuhnya, dan ada pula beberapa perubahan lainnya yang hanya diterima sebagian. Penerimaan dan penolakan itu dapat dilihat dalam beberapa contoh sebagai berikut.
a. Masyarakat kita menerima jenis jagung orang Indian sepenuhnya.
b. Menerima dan memodivikasi tembakau India.
c. Menerima sebagian kecil dan menolak sebagian besar budaya luar.
d. Menolak agama yang datang dari luar.
e. Menerima gaya perumahan dari Spanyol.
f. Menerima sebagian seni bangunan masjid, dan lain sebagainya.
Penerimaan terhadap perubahan tidak pernah bersifat menyeluruh, tetapi bersifat selektif dan didasarkan pada beberapa pertimbangan sebagai berikut.
a. Sikap dan Nilai-Nilai Khusus yang Terdapat dalam Masyarakat
Dalam sistem sosial, setiap masyarakat memiliki banyak sikap dan nilai-nilai khusus yang berkaitan dengan objek dan kegiatan masyarakat. Perasaan senang atau tidak senang yang sudah mapan dalam masyarakat merupakan faktor yang penting dalam perubahan sosial. Jika objek itu dinilai baik berdasarkan manfaat yang diberikannya, maka perubahan yang diajukan akan diterima dengan baik.
Namun jika sebuah objek kebudayaan tradisional dipandang secara intrinsik, yakni dinilai dari sudut objek itu sendiri dan terlepas dari kegunaan yang dapat diberikannya, maka perubahan yang diajukan kurang siap untuk diterima. Sebagai contoh, pada masyarakat pedesaan biasa mengolah lahan pertanian, misalnya adanya traktor untuk membajak, mesin pemanen, maka masyarakat cenderung selektif dalam menerima perubahan itu.
Ada yang langsung menerapkannya terutama mereka yang berpikiran maju, namun ada pula yang menolaknya dengan alasan bahwa pertanian itu adalah tradisional. Jika tidak dilaksanakan secara tradisi, maka dianggap bukan lagi pertanian. Itu berarti dalam masyarakat pertania terutama yang tradisional masih memegang tradisinya dalam bertani. Bahkan yang lebih parah lagi pada saat sekarang dimana para petani padi selalu merugi karena harga jual tidak sebanding dengan biaya produksi, tetapi petani tatap saja menanam padi. Sangat sulit untuk memanfaatkan lahan pertaniannya untuk menanami jenis tanaman lain yang lebih memberikan keuntungan. Ini tidak lain karena adanya nilai-nilai khusus petani yang sangat sulit untuk diubah.
b. Pembuktian Perubahan Sosial
Suatu perubahan akan diterima secara cepat jika kegunaannya dapat ditunjukkan dengan mudah. Namun demikian, kita baru dapat menentukan kegunaan praktis dari kebanyakan perubahan sosial setelah menerapkannya. Situasi inilah yang memperlambat penerimaan perubahan sosial. Sebagai contoh masih dalam bidang pertanian, dimana pemerintah menawarkan jenis padi baru yang lebih baik karena umurnya pendek tapi buahnya bagus. Meskipun telah diberikan penyuluhan berkali-kali, tetapi masyarakat sulit untuk mencobanya. Mereka baru akan mencoba kalau ada orang lain yang sudah mencoba dan berhasil. Begitu pula pada kasus pupuk tablet yang ditawarkan pemerintah. Para petani tetap saja tidak mau menggunakan pupuk tablet, melainkan sampai sekarang tetap lebih memilih menggunakan pupuk serbuk.
c. Kesesuaian dengan Budaya yang Berlaku
Perubahan akan sangat mudah diterima jika sesuai dengan budaya yang berlaku. Tetapi tidak semua perubahan dapat diterima dengan baik. Ketidaksesuaian perubahan dengan budaya yang berlaku mengejawantahkan sekurang-kurangnya dalam tiga bentuk sebagai berikut.
1) Perubahan tersebut bertentangan dengan pola budaya yang ada dalam masyarakat, maka akan menimbulkan setidaknya hal-hal sebagai berikut.
a) Perubahan tersebut akan ditolak sebagaimana halnya Amerika menolak komunisme dan budaya timur.
b) Perubahan itu diterima dan unsur-unsur budaya yang bertentangan dimodifikasi agar dapat disesuaikan dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat. Misalnya, perubahan yang menyangkut pemberian kesempatan kerja kepada anak-anak demi terlaksananya kebijakan wajib belajar.
c) Perubahan dapat diterima dan pertentangannya dengan budaya yang ada dalam masyarakat disembunyikan, untuk kemudian dikikis melalui proses rasionalisasi.
2) Perubahan sosial dapat saja memerlukan pola baru yang belum ada dalam budaya masyarakat. Karena kebanyakan perubahan memerlukan pola-pola baru dalam budaya masyarakat, sehingga diperlukan waktu untuk mengembangkannya. Suatu masyarakat memang pada umumnya mencoba menggunakan perubahan dengan cara lama yang biasa dilakukan. Tetapi jika cara tersebut gagal, barulah masyarakat mencoba cara baru untuk memanfaatkan unsur budaya baru tersebut bagi perkembangan masyarakat.
3) Beberapa perubahan merupakan unsur pengganti, bukannya unsur tambahan sehingga kurang siap untuk diterima. Masyarakat lebih mudah menerima perubahan yang dapat ditambahkan ke dalam budaya masyarakat, dan yang tidak memerlukan adanya pengabaian seketika terhadap beberapa unsur budaya yang sudah dikenal. Misalnya, banyak orang-orang Timur telah menerima cara pengobatan dan obat-obatan yang berdasarkan ilmu kesehatan modern, seperti inokulasi, antibiotik, analgesik, bahkan pembedahan karena keberadaannya dapat berdampingan dengan cara pengobatan tradisional. Contoh lain juga dalam bidang kebidanan dimana masyarakat menerima kehadiran bidan untuk mengurus kelahiran anak dan bersama-sama dengan dukun bayi dalam pelaksanaannya. Akan lain halnya apabila bidan merasa anti atas kehadiran dukun bayi, maka masyarakat akan menolaknya.
d. Risiko Perubahan Sosial
Setiap perubahan menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat. Dalam pada itu, hampir semua perubahan mengandung risiko besar. Perubahan sosial tidak saja menggoyahkan budaya yang berlaku dalam masyarakat dan merusak nilai-nilai dan kebiasaan yang dihormati, melainkan pula mengandung risiko tertentu. Tidak banyak perubahan yang secara mudah dapat dimasukkan ke dalam kebiasaan yang baru. Kebanyakan perubahan memerlukan modifikasi tertentu dari kebiasaan yang berlaku. Ini menunjukkan bahwa risiko perubahan sangat besar bagi masyarakat, baik mengenai dampaknya yang langsung maupun dampak normatif yang harus disikapinya.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pada Pemilu 2004 menerapkan sistem pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, hal mana sebelumnya melalui parlemen. Di samping itu, ada pula kepentingan pribadi dalam perubahan, karena hampir setiap orang mempunyai kepentingan pribadi baik orang kalangan atas maupun kalangan bawah. Kebanyakan perubahan sosial mengandung ancaman nyata terhadap orang mempunyai kepentingan pribadi. Karena posisinya terancam, maka mereka akan menentang perubahan itu. Contohnya, pemerintah Indonesia yang menerapkan kebijakan menaikkan harga BBM, kemudian banyak pihak yang mendukung dan menolaknya. Mereka yang mendukung adalah masyarakat yang merasa kepentingannya teradopsi, sedangkan bagi mereka yang menolak karena kebijakan itu akan merugikannya baik bagi dirinya maupun kelompoknya.
e. Peranan Agen Perubahan
Perubahan sosial budaya tidak terlepas dari adanya peranan agen perubahan. Para agen perubahan yang berhasil acapkali berupaya menampilkan kesan baik menyangkut perubahan dengan cara mengidentifikasikannya dengan unsur-unsur budaya yang sudah dikenal. Banyak agen perubahan yang merupakan penyimpangan. Seorang nonkonformis mungkin saja secara tidak sengaja melahirkan mode, gaya, bahasa, atau gerak tari baru. Para penemu merupakan orang yang senang mengerjakan hal yang aneh-aneh, mereka lebih tertarik pada tantangan ide baru daripada pesona kekayaan. Dalam hal ini, para pembaharu sosial merupakan orang yang jelas merasa kecewa terhadap tatanan lama. Dalam hal ini, misalnya apa yang dilakukan kaum reformis Indonesia yang berusaha mengganti tatanan lama dengan tatanan baru yang dianggap lebih baik. Yang jelas tanpa peranan para penyimpang, tidak mungkin terjadi perubahan sosial budaya. Ini menunjukkan bahwa peranan agen perubahan baik yang bernuansa positif maupun gejala-gejala negatif memiliki kontribusi terhadap perubahan sosial.
f. Efek Sosial dari Perubahan Sosial
Menurut Ogburn, setidaknya ada tiga bentuk efek sosial dari perubahan sosial yaitu:
1) Efek beruntun dari sebuah perubahan mekanik.
2) Efek sosial budaya lanjutan dari sebuah perubahan. Ini berarti sebuah perubahan menciptakan perubahan baru, lalu perubahan tersebut menimbulkan perubahan selanjutnya.
3) Munculnya beberapa pengaruh dari beberapa perubahan secara bersamaan.
0 Response to "Perilaku Masyarakat sebagai Dampak Perubahan Sosial"