Strukturalisme
Saussure adalah salah seorang tokoh yang paling berhasil menjelaskan pemunculan makna dari referensi pada suatu sistem perbedaan yang terstruktur dalam bahasa, oleh karena itu ia dianggap sebagai tokoh pendiri strukturalisme. Saussure menyelidiki aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang mengatur bahasa (langue), dan bukan penggunaan khusus dan ujaran-ujaran yang dipakai sehari-hari (parole). Strukturalisme pada umumnya lebih tertarik pada struktur-struktur bahasa dari pada pemakaian aktualnya (Chris Baker, 2005 : 90).
Menurut Saussure yang dikutip dari buku Chris Baker (2005 : 90-92), bahasa mengandung sebuah sistem pemaknaan yang terdiri dari serangkaian tanda (signs) yang dianalisis menurut bagian-bagian penyusunnya, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk-bentuk dan medium yang diambil oleh suatu tanda, seperti sebuah bunyi, gambar atau coretan yang membentuk kata di suatu halaman. Sedangkan petanda adalah konsep dan makna-makna.
Hubungan antara petanda dan penanda bersifat tidak pasti, dalam arti harus selalu demikian. Pengaturan hubungan antara petanda dan penanda bersifat arbitrer, sehingga binatang yang biasa kita sebut sebagai “kucing” misalnya bisa saja diwakili oleh penanda yang lain, seperti kuda atau meja. Menurut Saussure yang dikutip dari buku Chris Baker (2005 : 90-92), makna diproduksi lewat proses seleksi dan kombinasi tanda-tanda menurut sumbu sintagmatis dan paradigmatis. Sumbu sintagmatis tersusun dari kombinasi linear tanda-tanda yang membentuk kalimat sedangkan paradigmatis menunjuk pada medan tanda (misalnya sinonim) yang darinya bisa dipilih tanda yang mana pun. Makna terakumulasi seiring sumbu sintagmatis, sedangkan seleksi dari medan paradigmatis bisa mengubah makna pada titik mana pun dalam suatu kalimat.
Pada sumbu paradigmatis, pemilihan antara pejuang kemerdekaan dengan teroris akan menghasilkan perbedaan makna yang signifikan. Hal itu mengubah bagaimana kita memahami karakter dari pelaku dan akan memengaruhi kombinasi di sumbu sintagmatis karena berdasarkan konvensi dan meskipun sebenarnya secara gramatikal bisa dibenarkan, pemilihan kata “teroris” tidak akan dikombinasikan dengan kata “membebaskan”.
Karakter arbitrer hubungan penanda – petanda menunjukkan bahwa makna itu mengalir secara kultural dan historis bersifat spesifik, tidak bersifat tetap dan khusus. Fakta bahwa “teroris” dan “pembebasan” merupakan suatu kombinasi yang langka juga menunjukkan bahwa makna itu diatur di bawah kondisi-kondisi sosial – historis yang khas. Culleh dalam buku Chris Baker (2005 : 91), mengungkapkan “karena sifatnya yang arbitrer, maka tanda sepenuhnya berada di bawah pengaruh sejarah dan kombinasi dari suatu penanda dan petanda pada suatu saat tertentu merupakan akibat dari proses sejarah”.
Strukturalisme berpendapat bahasa memiliki kode-kode kultural. Salah satu contohnya adalah organisasi dan regulasi warna ke dalam kode kultural lampu lalu lintas. Menurut Saussure yang dikutip dari buku Chris Baker (2005 : 92), warna merah baru mempunyai makna dalam relasi perbedaan antara merah, hijau, biru, dan lain-lain. Tanda-tanda ini kemudian diatur menjadi suatu urutan yang bisa memunculkan makna melalui konvensi-konvensi penggunaannya dalam konteks tertentu. Maka lampu lalu lintas memakai “merah” untuk berhenti, dan “hijau” untuk menandakan terus. Ini adalah kode kultural yang untuk sementara waktu menetapkan hubungan antara warna-warna dan makna. Di sini tanda telah dijadikan kode-kode yang dialamiahkan. Makna terasa begitu gamblang. (Kita tahu kapan harus berhenti atau terus). Para penganut strukturalisme sering juga disebut dengan pendukung esensialisme.
Pasca Strukturalisme
Pasca strukturalisme menolak gagasan tentang adanya struktur dasar (underlying structure) yang memunculkan makna. Bahasa bukanlah sesuatu yang otonom, terlepas dari hubungan antarteks. Menurut pasca strukturalisme makna selalu tertunda dan berada dalam proses. Makna tekstual bersifat labil dan tidak bisa dikurung dalam sebuah kata, kalimat atau teks tertentu. Makna tidak memiliki sumber orisinalitas tunggal melainkan merupakan hasil hubungan-hubungan antarteks yang disebut dengan intertekstualitas.
Pasca strukturalisme menggagas bahwa makna hanya ada di dalam tanda, tidak ada makna di luar tanda yang merupakan suatu bentuk “representasi” grafis. Menurut Derrida yang dikutip dari buku Chris Baker (2005 : 99), dalam konteks ini, tulisan berada pada pangkal asal mula makna. Tulisan adalah arche writing yang bermakna tulisan selalu merupakan bagian dari luar teks dan teks turut membentuk apa yang ada di luarnya. Jadi tulisan bukanlah semata-mata teks yang ada pada sebuah halaman. Manusia tidak akan bisa berpikir tentang pengetahuan dan kebenaran dan kebudayan tanpa adanya tanda atau tulisan. Tulisan adalah jejak permanen yang selalu sudah (always already) ada sebelum persepsi menyadari dirinya.
Menurut Derrida dikutip dari buku Chris Baker (2005 : 100), makna terlahir melalui permainan penanda, bukan dari referensi dengan sebuah objek yang independen. Makna tidak mungkin bisa tetap dan baku. Kata-kata selalu mengandung banyak makna, yang didalamnya terdapat pula jejak atau guna makna-makna lain yang berasal dari kata-kata lain (yang berhubungan) dalam konteks yang berhubungan. Bahasa bersifat non representasional dan makna secara inheren bersifat tidak stabil dan karenanya selalu berada dalam pergeseran. Derrida memperkenalkan Differance untuk memahami makna kata-kata dari suatu bahasa. Differance berasal dari kata difference dan deferral. Difference berarti perbedaan, sedangkan defferal berarti penundaan. Produksi makna yang terjadi dalam proses pemaknaan selalu mengalami perbedaan dan penundaan. Derrida yang dikutip dari buku Chris Baker (101), memberi contoh kartu pos yang sudah diberi motif tertentu. Menurutnya kartu pos bisa saja salah sasaran. Kartu pos bisa sampai pada seseorang dan menghasilkan makna-makna yang sama sekali berbeda dari apa yang dimaksudkan.
Bisa saja karena salah sasaran, makna yang sesungguhnya digantikan oleh makna yang beredar tanpa sumber atau tujuan yang sepenuhnya pasti. Nalar tidak mampu memastikan dan mendefinisikan secara permanen makna dari sebuah konsep. Oleh karena itu makna dari setiap tanda dan kata selalu mengalami perbedaan dan penundaan dalam proses pemaknaan oleh orang-orang yang berbeda. Ajaran yang demikian menyebabkan para penganut pasca struturalisme disebut pendukung antiesensialisme.
0 Response to "Perbedaan Antara Strukturalisme (Esensialisme) Dengan Pasca Strukturalisme (Anti Esensialisme)"